Kamis, 07 Desember 2017

WALI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)


WALI DALAM PERNIKAHAN


A.    Definisi Umum Wali dan Pengertian Wali Nikah
Perwalian dalam arti umum yaitu “ Segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”.
   Dan yang disebut dengan wali mempunyai banyak arti, antara lain :
1.    Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
3.      Orang saleh (suci), penyebar agama
4.      Kepala pemerintah dsb. [1]
            Sedangkan yang dimaksud dengan Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak atau berwenang menikahkan seorang perempuan yang diurusnya apabila ia (wali)
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. Wali nikah juga bisa disebut pihak pertama dalam aqad nikah, karena yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai perempuan atau yang melakukan ijab. Sedangkan mempelai laki-laki menjadi pihak kedua atau yang melakukan qabul. Wali merupakan syarat sah dalam pernikahan gadis, tanpa wali pernikahan tidak sah, [2]
B.     Landasan Hukum Wali nikah
Berdasakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”
Juga berdasarkan sabda rasulullah SAW:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali.(HR. Turmudzi)”
Juga dalam lafazh lain:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.(HR. Turmudzi)”
Dan dalam lafazh lain lagi:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil.(HR. Abdurrazaq)”
Mengenai perwalian ini terdapat juga dalam kompilasi hukum islam (KHI) di Indonesia memperinci sebagai berikut :
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19,20,21,22 dan 23 berkenaan dengan Wali nikah, disebutkan :
a.       Pasal 19 à Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya
b.      Pasal 20 à
(1). Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh
(2). Walli nikah terdiri dari : a. Wali nasab, b.Wali hakim

c.       Pasal 21
(1)    Wali nasab tediri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
(2)    Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)    Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
d.      Pasal 22 à Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu mendereita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
e.       Pasal 23 à
(1)    Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.
(2)    Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. [3]

C.     Kewenangan Wali Nikah (wali mujbir)
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapatkan izin dari orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali mujbir adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukum,seperti anak kecil dan orang gila. Jumhur ulama kecuali Imam Syafi’i, menyatakan sepakat bahwa anak kecil yang belum akil balig, baik ia laki-laki ataupun perempuan, janda atau perawan, dan orang gila boleh dipaksa menikah.
2.      Wanita yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal.
3.      Wanita yang telah kehilangan keperawanannya, baik karena sakit, dipukul, terjatuh ataupun disebabkan karena berzina.
Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, anak-anak yang belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya, sebagaimana dengan orang-orang yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang akalnya belum sempurna, tetapi belum tamyiz (abnormal).
D.    Antara Janda (Tsaib) dan Perawan (Bikr)
            Mengenai perbedaan hukum antara wanita  Janda (tsayyib) dan wanita perawan terdapat hadits :
“ Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda.”
Adapun dalil dengan hadits : “ Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya.” Jadi dari kedua hadist diatas mengatakan dengan tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan diantaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya. [5]

E.     Kelompok Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah
            Di bawah ini dikemukakan tingakatan wali nikah untuk wanita dari yang terkuat hak kewaliannya sampai yang terendah. yaitu :
1.      Ayah
2.      Kakek dari pihak ayah terus keatas, atau orang yang mendapat kepercayaan ayah
3.      Saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara laki-laki seayah
5.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7.      Paman sekandung
8.      Paman seayah
9.      Anak laki-laki dari paman sekandung
10.  Anak laki-laki dari paman seayah
11.  Hakim. [6]
F.      Anak Menjadi Wali Nikah Ibunya
            Anak tidak boleh dijadikan sebagi Wali nikah Karena statusnya sebagai anak.
Diantara dasar ulama syafi’iyah tidak membolehkan anak menjadi Wali karena hubungan anak dan ibunya bukanlah dari hasil nasab (namun dari pernikahan dengan bapak dari anak itu sehingga barulah ada anak). Sama halnya dengan saudara laki-laki seibu tidaklah boleh menikahkan saudara perempuannya seibu karena tidak ada nasab dari jalur bapak. [7]

G.    Wali Nikah Mafqud, Mujbir dan Adhal
Ø  Wali Mafqud ( tidak ketahuan rimbahnya)
            Wali Mafqud adalah wali yang hilang atau tidak diketahui keberadaanya mungkin
karena pergi merantau atau kemana dan tidak pernah ketahuan alamat pastinya. Dalam hal ini bapak penghulu juga berhak menikahkan sebagai wali hakim dengan permohonan dari pihak pengantin perempuan.
Ø  Wali Adhol ( enggan menikahkan)
Wali Adhol atau enggan menikahkan adalah wali yang memang tidak menyetujui pernikahan puterinya yang akan berlangsung. Wali bersikap demikian karena dilatar belakangi faktor:
a.       Puterinya sudah di jodohkan dengan orang lain yang pilihan orang tuanya
b.      Orang tuanya beranggapan tidak sekufu (sederajat) baik secara ekonomi, strata social. Dll.
Ø  Wali Mujbir, sebagaimana dijelaskan diatas yang dimaksud wali mujbir adalah orang yang mempunyai hak paksa atau hak ijbar. Dasar pertimbangan wali mujbir adalah kemaslahatan putrinya yang akan dipaksa. Artinya bahwa seorang Wali mujbir harus yakin bahwa jodoh yang dia paksakan itu tidak akan menimbulkan masalah bagi putrinya bahkan akan mendatangkan maslahat bagi putrinya.
Hak ijbar dari Wali mujbir itu bisa gugur karena mempunyai alasan yaitu:
1.      Tidak ada kesepadanan antara mempelai laki-laki dengan gadis yang dipaksakan perkawinannya.
2.      Adanya pertentangan antara kedua orang yang akan dipaksakan atau adanya perselisihan antara calon mempelai
3.      Adanya perselisihan antar mempelai perempuan dengan wali mujbir yang dinikahkan.[8]

H.    Syarat Mursyid bagi Wali Nikah
v  Seseorang wali harus memenuhi syarat-syarat sabagai berikut:
1.      Islam
      Disaratkan wali itu seorang muslim apabila yang dikawinkan itu seorang muslim pula, maka tidak boleh seorang muslimah dinikahkan dengan seorang kafir.
Firman Allah SWT dalam QS. Ali-imran: 28 yang Artinya : “ janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah SWT, kecuali karena (siasat) memelihara dari sesuatu yang diikuti. Kepada Allah kembalimu.
2.      Baligh dan Berakal
      Baligh dan berakal merupakan persyaratan bagi wali, maka tercegahlah bagi wali yang anak-anak dan orang gila, karena anak-anak dan orang gila itu masih dibawah kewalian orang lain.
3.      Merdeka
      Disyaratkan wali itu merdeka, maka tidak boleh hamba menjadi wali, karena hamba itu tidak layak bagi dirinya, bagaimana ia dapat menjadi wali bagi orang lain.
4.      Laki-laki
       Disyaratkan wali itu laki-laki, maka perempuan tidak sah menjadi wali. Sabda Rasullah SAW : (H.R Ibn Majah dan Daruquntni)
“ dari Abu Hurairah R.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: wanita tidak dapat menikahkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, maka sesungguhnya wanita penzinahlah yang mengawinkan dirinya.”
5.      Adil (Mursyid)
      Menurut Imam Syafi’I wali itu harus seorang yang adil, maka tidak sah apabila wali itu tidak adil, haram memandang beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya wibawa seorang wali dalam perkawinan apabila ia tidak sanggup berlaku adil.
Mursyid dalam hadits dianggap sebagai persyaratan yang utama bagi seorang wali, karena orang tidak dapat berlaku adil dikhawatirkan perwaliannya akan membawa kepada hal-hal yang tidak baik atau membawa akibat sampingan yang mengurangi nilai perkawinan tersebut.
      Dalam Matan Taqrib Abu Syujak menjelaskan syarat menjadi saksi nikah dan syarat Adil :
“ Artinya : Kesaksian dalam pernikahan tidak diterima kecuali dari orang yang memenuhi lima hal yaitu : islam, baligh, berakal sehat, merdeka, adil, Adil harus memenuhi lima syarat yaitu menjauhi dosa besar, tidak menatapi dosa kecil, menjaga perilaku buruk, stabil emosinya saat marah, menjaga kerabat.[9]
I.       Macam-macam Wali
v  Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat(2) Wali nikah terbagi menjadi dua macam, antara lain:
1.      Wali Nasab yaitu wali dari pihak kerabat.
2.      Wali Hakim yaitu pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula.[10]

Ø  Wali Nikah ada beberapa macam, yaitu :
(1).  Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Al Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama dari pada saudara laki-laki dan anaknya sudara lelaki Karena kakek adalah asal. Kemudian, paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan-urutan saudara-saudara laki-laki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almanla) dan penguasa.
     Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu Wali Aqrab (dekat) dan Wali Ab’ad (jauh). Dalam urutan diatas, yang termasuk Wali Aqrab adalah wali ayah, sedangkan Wali Ab’ad adalah kakak atau adik ayah.
·         Adapun perpindahan Wali Aqrab kepada Wali Ab’ad adalah sebagai berikut :
1.      Apabila wali aqrab-nya nonmuslim
2.      Apabila wali aqrab-nya fasik
3.      Apabila wali aqrab-nya belum dewasa
4.      Apabila wali aqrab-nya gila
5.      Apabila wali aqrab-nya bisu / tuli


(2)    Wali Hakim, adalah wali nikah yang diambil dari hakim (Pejabat pengadilan atau aparan KUA atau PPN)
(3)    Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami / calon istri.
Wali Tahkim terjadi apabila :
·         Wali nasab tidak ada
·         Wali nasab gaib, atau berpergian sejauh dua hari agar perjalan, serta tidak ada wakilnya.
·         Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
(4)    Wali Maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya budak tersebut. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya, terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya, bilamana perempuan itu rela menerimanya.
Dalam Q.s An-Nur ayat 32 di jelaskan :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

(5)    Wali Mujbir dan Wali Adol. [11]

J.       Wali Pengganti/ Wali Hakim
            Para ulama sependapat bahwa wali yang tidak berhak merintangi perempun yang diwalikannya, dan berbuat dzalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut, jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahal mitsl. Jika wali menghalangi pernikahan tersebut, maka calon pengantin wanita berhak mengadukan perkaranya melalui pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan. Dalam keadaan seperti ini perwalian tidak berpindah ke wali yang lain melainkan langsung kepada hakim. Sebab mengahalangi hal tersebut adalah suatu perbuatan yang dzalim, sedangkan untuk mengadukan wali dzalim itu hanya kepada wali hakim.[12]
            Jadi wali hakim telah dijelaskan jika wali terdekat tidak ada tetapi tidak memenuhi syarat maka hak menikahkan berpindah kepada wali hakim dalam tingkat berikutnya. Seperti diatas jika wali itu tidak mau menikahkan atau ada perempuan yang tidak mempunyai wali, maka akad nikah dilakukan oleh wali hakim.
Ø  Orang-orang yang berhak menjadi Wali Hakim :
1.      Kepala pemerintah.
2.      Khalifah (pemimpin), penguasa pemerintahan atau qadi bikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan perempuan yang berwali Hakim.
Ø  Wali Hakim diperlukan dalam keadaan sebagai berikut :
1.   Tidak ada wali nasab
2.      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
3.      Wali aqrab gaib atau pergi dalan perjalanan sejauh kurang lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4.      Wali aqrab Sedang di penjara atau ada tugas (tidak bisa ditemui)
5.      Wali aqrab A’dol
6.      Wali aqrab berbelit-belit (mempersulit)
7.      Wali aqrab sedang ihram haji atau umroh
8.      Hilang tak tentu rimbahnya
9.      Wali aqrab sendiri yang akan menikah
10.  Perempuan yang akan dinikahi gila , tetapi sudah dewasa, sedangkan wali mujbir tidak ada.[13]

Ø  Wewenang perwalian berpindah kepada hakim, apabila :
1.   Ada pertentangan antar wali-wali
2.   Jika tidak ada wali, dalam arti tidak ada yang absolut (mati, hilang) atau karena gila.
Ø  Wali Hakim tidak berhak menikahkan :
1.      Perempuan yang belum baligh
2.      Kedua belah pihak (calon perempuan dan laki-laki) tidak sekufu
3.      Tanpa seizin perempuan yang akan dinikahi
4.      Di luar daerah kekuasaannya
K.    Perkawinan Tanpa Wali Di Luar Marhalah Qashr
Seandainya wali yang terdekat baik wali nasab maupun wali waris wala' sejauh dua marhalah (82 km dihitung dari batas kota ke batas kota lain) dan tidak ada wakilnya yang hadir didalam kota atau kurang dari perjalanan yang memperbolehkan qasr (82 km) maka Hakim yang menikahkan. Yang dimaksud hakim di sini hakim atau penggantinya dalam wilayah kerjanya bukan hakim yang diluar wilayah kerjanya juga bukan wali yang jauh
Ada sebagian pendapat wali yang lebih jauh secara nasab  berhak menikahkan seperti bila wali dekatnya dalam keadaan gila.
Dan apabila kurang dari masafah Qasr/82 km  Hakim tidak dapat menikahkan kecuali dengan izin wali menurut pendapat yang kuat, karena jarak tempuh yang dekat, maka perwalian harus dikembalikan kepada wali tersebut, kemudian wali menghadirinya atau mewakilkan
L.     Perkawinan Tanpa Wali Nikah Sama Sekali
Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits yang telah dipaparkan diatas
Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini dikarenakan mereka beranggapan dalam riwayat hadits diatas terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif
M.   Sifat-sifat Wali
            Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah islam, dewasa, dan laki-laki. Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba sahaya, orang fasik, dan orang bodoh.
            Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan merupakan syarat dalam perwalian untuk menikahkan bersama ketiadaannya pada perwalian dalam urusan harta benda, mereka mengatakan bahwa seorang wali tidak disyaratkan harus cerdik pula dalam urusan harta benda. Adapun bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan itu tidak diisyaratkan dalam perwalian, mereka mengharuskan adanya kecerdikan dalam masalah harta benda. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua bagian, yaitu bahwa kecerdikan dalam urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon suami yang patut untuk dinikahi. [16]



[1] Prof.Dr.Abdul Rahman Ghozali, M.A ,Fiqih Munakahat (Kencana, Prenada Media Group, Jakarta 13220)
[2]
[3] Kompilasi Hukum Islam
[4]
[5]
[6] Fiqih sunnah 6, Sayyid saabiq.
[7] Khifayatul Akhyar, Abu Bakr Muhammad bin Abdul Mu’min Al-husaaini Ad Dimasyqi, Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[8] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)

[9] Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul (Bandung,Diponegoro,1984)
[10] Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Haji, Departemen Agama RI, 2002
[11] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)
[13] Fiqih sunnah 6, Sayyid saabiq

[16] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...