PERKAWINAN DALAM ISLAM
Perkawinan atau
nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula
ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan
perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut
peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam
al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan
Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan
dan mengharamkan zina.
Dalam konteks
pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan
berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu,
nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun
dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di
dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkannegara.
Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah,
dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang
anak itu adalah anak zina.
Baiklah, dalam
makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian pernikahan, landasan hukum
perkawinan, historisitas perkawinan, aneka macam jenis perkawinan pada masa
jahiliyah dan pada masa zaman sekarang yaitu islamiyah, hukum taklifinya, rukun
dan syarat perkawinan dan wali dan saksi dalam perkawinan. Yang tujuan kami
membahas ini agar kita sebagai mahasiswa dapat mengetahui bagaimana tata cara
perkawinan yang dianjurkan dalam syariat Islam.
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dalam fiqh
berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh,
nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau
masyarakat yang sempurna.[1] Pernikahan
itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi
juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Menurut
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan
akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah
merupakan ibadah.[3]
Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut
perundang-undangan yang berlaku.
B. Hukum Taklifi Perkawinan
Pada dasarnya
Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun
karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini
dapat dibagi menjadi lima macam.
1. Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang
mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan
- keperluan lain yang mesti dipenuhi.
2. Wajib, bagi orang yang
mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam
perzinaan.
3. Makruh, bagi
orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu
memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
4. Haram, bagi orang yang
ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya.
Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada
istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
5. Mubah, bagi
orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah
atau yang mengharamkannya.
C. Rukun dan
Syarat Perkawinan
1. Rukun
perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Calon
mempelai laki-laki.
b. Calon
mempelai perempuan.
c. Wali dari
mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
d. Dua orang
saksi.
e. Ijab yang
dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
2. Syarat – syarat
calon mempelai :
a. Keduanya
jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut
nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
b. Keduanya
sama-sama beragama islam.
c. Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan
perkawinan.
d. Kedua
belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan
mengawininya.
UU Perkawinan mengatur
persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang
sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai.
KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.
e. Keduanya telah
mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk
calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas
persyaratan tersebut.
3.Wali nikah dari
mempelai perempuan
a. Syarat
– syarat wali :
1) Telah dewasa
dan berakal sehat
2) Laki – laki.
Tidak boleh perempuan.
3) Muslim
4) Orang merdeka
5) Tidak berada
dalam pengampuan
6) Berpikiran baik
7) Adil
8) Tidak sedang
melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama
sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah orang tua,
itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu
melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5),
dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh
dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.
4. Dua orang
saksi
Syarat – syarat saksi :
a. Saksi
itu berjumlah paling kurang dua orang.
b. Kedua
saksi itu adalah beragama Islam.
c. Kedua
saksi itu adalah orang yang merdeka.
d. Kedua
saksi itu adalah laki – laki.
e. Kedua
saksi itu bersifat adil.
f. Kedua
saksi itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak
menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menghadirkan saksi
dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur
saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
Ijab dan Qabul
Ijab adalah
penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak
kedua.
5. Syarat – syarat
akad nikah :
a. Akad
harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
b. Materi
dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
c. Ijab dan qabul harus
diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
d. Ijab dan qabul mesti
menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan tidak
mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam Pasal
27, 28, dan 29.
D. Landasan Hukum dan Historisitas Perkawinan
a.
Landasan Hukum
Perkawinan
1. Menurut Fiqh
Munakahat
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT
berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :[4]
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empatdan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini
memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan
nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan
kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat
lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan
syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an,
Surat Al A’raaf ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang
menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar
Dia merasa senang.” (Al A’raaf : 189).
Sehingga perkawinan
adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta
orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah),
pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah). [5]
b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari
Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda,
barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu
dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak
memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan
kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).[6]
2. Menurut Undang
– Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat
dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) UU
Perkawinan yang rumusannya :[7]
Perkawinan adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap –
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan
yang berlaku.
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut
Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.[8]
b.
Historisitas
Perkawinan
Agama-agama
wahyu memperakui bahawa perkawinan pertama di kalangan manusia berlaku antara
Nabi Adam a.s. bersama Hawa. Perkawinan ini berlaku dengan suatu cara
perhubungan yang dibenarkan oleh Allah s.w.t kepada mereka berdua. Ini
merupakan suatu sistem perkawinan yang disyariatkan bagi membiakkan manusia
untuk memerintah bumi dan mendudukinya buat sementara waktu. Selain al-Quran
dan hadisth, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru turut menceritakan kejadian
Adam dan Hawa sebagai pasangan pertama. Di dalam Perjanjian Lama atau Taurat,
telah diselitkan beberapa ayat, antaranya yang bermaksud, “Tuhan telah berkata
tidak baik Adam berkeseorangan sahaja, maka Aku jadikan seorang penolong
sepertinya”.[9]
Berkenaan
dengan perkawinan anak-anak Adam sendiri tidaklah dapat diketahui bagaimanakah
sistemnya yang sebenar. Di dalam Tafsir Ibn Kathir, apa yang diriwayatkan oleh
Ibn Jarir daripada Ibn Mas’ud dari beberapa orang sahabat yang lain, bahwa
mereka berkata yang bermaksud, “Sesungguhnya tidak diperanakkan bagi Adam anak
lelaki melainkan diperanakkan beserta anak perempuan, kemudian anak lelaki
kandungan ini dikawinkan dengan anak perempuan dari kandungan lain, dan anak
perempuan bagi kandungan ini dikawinkan dengan anak lelaki dari kandungan yang lain
itu.” Pada masa itu, perkawinan berlainan kandungan boleh dijadikan seperti
perkawinan berlainan keturunan.
E. Aneka Macam Jenis Perkawinan ( Jahiliy
dan Islamiy)
1.
Perkawinan Pada
Masa Jahiliyah
Dalil-dalil hadisnya:
عَنْ عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ
النِّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا
نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ
ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari ‘Urwah :
Sesungguhnya ‘Aisyah RA pernah memberitahukankepadanya, bahwa pernikahan di
jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1. Pernikahan seperti yang berlaku sekarang
ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada
walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ:
اِذَا ظَهَرَتْ مِنْ طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ يَعْتَزِلُهَا
زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى
تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ.
وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ
يُسَمَّى نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ .
Bentuk
pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada istrinya,
ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada siFulan, kemudian
mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendirimenjauhinya, tidak
menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telahmengandung dari hasil hubungannya
dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya
itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan
untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut
nikah istibdla’.
وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ
فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ
وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ،
فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا،
فَتَقُوْلُ لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ
فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ
وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ الرَّجُلُ.
Kemudian bentuk
yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu
mereka semua mencampuri seorang wanita.Apabila wanita tersebut telah hamil dan
melahirkan anaknya, selangbeberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan
tidak adaseorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan
tersebutsehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita
itu berkata kepada mereka, “Sungguh anda semua telahmengetahui urusan kalian,
sedang aku sekarang telah melahirkan,dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan
wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah
anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.
وَ نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ
وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا.
يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ
دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ
دَعَوْ لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ
بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا
ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ.
البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار 6:178-179
Bentuk ke-4
yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita
yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab
mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu
merekasebagai tanda, siapasaja yang menginginkannya boleh masuk.Kemudian jika
salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil danmelahirkan anaknya, maka
para laki-laki tadi berkumpul di situ, danmereka pun memanggil orang-orang ahli
firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli
firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan
dipanggilsebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itutidak
boleh menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus nabiMuhammad SAW sebagai
Rasul dengan jalan haq, beliaumenghapus pernikahan model jahiliyah tersebut
keseluruhannya,kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini.[10]
Jenis-Jenis perkawinan pada masa jahiliyah:
1.
Al-Istibdha’
Praktik
perkawinan semacam ini bertujuan mencari bibit unggul sebagai keturunan.
Caranya, suami memerintahkan istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki
yang gagah perkasa, kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya
nanti dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak dan
karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya yang sah. Suami
memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari haidhnya: “Pergilah engkau
kepada si fulan (biasanya adalah seorang yang tampan / bagus rupanya, dsb), dan
kumpullah engkau dengannya (yakni jima’)”. Setelah itu suami yang pertama tadi
tidak akan menyentuhnya sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari
laki-laki tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini
dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.
Adat perkawinan
semacam ini banyak ditemui di kalangan penduduk kota Kabul, Turki, dan Sparta.
“Di Sparta, masyarakat akan mencemooh kaum laki-laki sebagai suami yang cemburu
pada sang istrinya yang melakukan kebiasaan seperti itu”.[11]
2.
Al-Mukhadanah
Perkawinan ini
tak ubahnya dengan poliandri. Poliandri adalah Satu orang perempuan memiliki
banyak suami. Si perempuan melayani semua laki-laki tadi dan kalau nanti hamil maka
salah satu dari laki-laki yang menggauli harus mengakui bahwa anak yang
dikandung si perempuan adalah anaknya. Sedangkan siapa yang mau dijadikan bapak
dari anaknya tergantung pilihan perempuan. Dan biasanya penunjukan ayah dari
jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
Pada umumnya
banyak terjadi di negeri Yaman. Di negeri itu terkenal sebutan Ar-Ranth. Selain
Yaman, juga terjadi diTurkistan, Siberia, India Selatan, Srilangka, Vietnam dan
di bagian benua Afrika.
3. Asy-Syighar
Bentuk dan
praktik perkawinan ini ialah, kedua orangtua dari kedua mempelai, menukarkan
kedua anak laki-laki dan perempuannya, masing-masing memberikan mas kawin
kepada anaknya sendiri. Namun, perkawinan semacam ini dilarang Nabi. “Islam
tidak mengenal kawin Syighar,” sabdanya.
4. Perkawinan Warisan
Perkawinan ini
terjadi karena ada anggapan bahwa seorang istri itu tidak lebih dari barang
warisan yang dapat diberikan kepada siapa saja yang mengendaki. Jadi, saudara
suami dapat mewarisi jika suaminya telah meninggal. Istri yang ditinggalkan
mati suaminya itu tidak berhak menolak atau kembali pada keluarganya sebelum
sang saudara suami itu datang dan memperbolehkan kembali pada keluarganya.
Begitu pula bila sang ayah meninggal dunia, anak sulungnya berhak mengawini
istri ayahnya yang bukan ibu kandungnya. Perkawinan model ini banyak dilakukan
di Persia.
5. Perkawinan Mut’ah
Bentuknya
semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan syaratnya.
Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang
ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram
hukumnya.
6. Perkawinan semacam pelacur
Perkawinan yang
terjadi ketika seorang laki-laki berhubungan dengan perempuan yang bukan
istrinya, lantas memberi imbalan. Jika tidak memakai imbalan, maka dinamakan
perzinaan. Perzinaan ialah percampuran antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang bukan istrinya. Biasanya dilakukan tanpa memakai imbalan.
Terjadi suka sama suka. Pada rumah perempuan itu biasanya dikibarkan bendera,
yang menandakan di dalam rumah itu disediakan wanita bersangkutan. Jika wanita
itu melahirkan anak, ia berhak meminta pertanggungjawaban pada laki-laki yang
mirip dengan wajah anaknya.
7. Perkawinan tukar-menukar istri
Di masa
jahiliyah juga dikenal tukar menukar istri. Terjadi untuk beberapa waktu
tertentu. Adat tukar-menukar istri ini terjadi dan berlaku di kalangan beberapa
suku di Afrika, penduduk Hawai dan Tibet. Tradisi perkawinan tukar-menukar
istri tersebar juga ke negeri Paris.
8. Perkawinan keroyokan
Sekelompok
lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah
hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak
seorangpun boleh absent. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya
untuk di nisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak
boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang
bayi lahir
9. Perkawinan syar’iy/ ihshan’
Model
perkawinan ini tidak ada ubahnya dengan perkawinan yang sekarang terjadi, yaitu
dengan cara melamar kepada si wali wanita yang akan dinikahi kemudian
dilanjutkan dengan pernikahan dengan acara ijab qobul dan pemberian mahar
kepada mempelai wanita.
2.
Perkawinan Pada
Masa Islamiyah
Setelah Islam
datang, membawa nilai-nilai yang sangat luhur dan agung, di dalamnya juga
diatur hubungan antarmanusia. Termasuk hubungan perkawinan. Islam menata
perkawinan dengan sempurna, sebab perkawinan menjadi masalah pokok dan vital.
Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi, menjalin hubungan
kekeluargaan dan meneruskan keturunan.
Maka Rasul SAW
menghapus semua jenis pernikahan jahiliyah itu kecuali pernikahan syar’iy yang
kita kenal sekarang.
F. Nikah Tanpa Wali dan Saksi
1. Wali Dalam Perkawinan
a.
Pengertian Wali
Yang dimaksud
dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang
untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak atas
nama orang itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada
dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam
urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah
seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh
mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[12]
b.
Kedudukan Wali
dalam Perkawinan
Keberadaan
seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad
perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun
dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad
perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak
atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya
untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Memang tidak
ada satu ayat al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki
keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun dalam al-Quran terdapat petunjuk
nash yang ibaratnya tidak menunjuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari
ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali.
Di antara ayat
al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:
Surat
al-Baqarah (2) ayat 232:
Dan bila kamu
telah menalak perempuan dan habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali)
menghalangi mereka kawin dengan bakal suami mereka.
Surat al-Baqarah
(2) ayat 221:
Janganlah kamu
mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik. Sesungguhnya hamba
sahaya mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.
Surat an-Nur
(24) ayat 32:
Dam kawinkanlah
orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk
kawin) di antara hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.
Memang hal-hal
yang berkenaan dengan kawin dan mengawinkan Allah mengalamatkan titahnya kepada
wali, karena dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Arab waktu turun
ayat-ayat ini perkawinan itu berada di tangan wali.
Di samping itu,
terdapat pula ayat-ayat al-Quran yang memberikan pengertian perempuan itu kawin
sendiri tanpa mesti memakai wali. Di antaranya adalah:
Dalam Surat
al-Baqarah (2) ayat 230:
Kemudian jika
suami menalaknya (setelah talaq kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi
baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain.
Dalam Surat
al-Baqarah ayat 234:
Bila telah
sampai iddahnya tidak ada halangan bagimu terhadap apa yang diperbuatnya
terhadap dirinya secara baik.
Dari ayat-ayat
kelompok kedua tersebut di atas ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah
berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat
melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan
rasional adalah orang yang telah dewasa dan berakal dapat bertindak hukum
dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya.
Banyak
ulama-ulama dan imam-imam mazhab berpendapat tentang ada atau tidak ada wali
dalam perkawinan:
a.
Ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah
berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal atau tidak sehat
akal diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan
perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad
perkawinannya tanpa adanya wali.[13]
b.
Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat
bahwa setiap akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik perempuan itu dewasa
atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat.
Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya.[14]
c.
Pendapat imam Malik menurut riwayat Asyhab wali
mutlak dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali. Namun
menurut riwayat Ibnu Qasim, keberadaaan wali hanyalah sunnah hukumnya dan tidak
wajib.[15] Dalam
literatur lain dinukilkan bahwa keberadaan wali hanya diwajibkan bila perempuan
yang kawin itu adalah perempuan yang bangsawan dan tinggi martabatnya,
sedangkan selain itu tidak diperlukan wali.[16]
d.
Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk
perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan
untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk
melangsungkan perkawinan.[17] Yang
menjadi dalil bagi mereka adalah sabda Nabi SAW, dari Aisyah yang dikeluarkan
empat perawi hadis selain al-Nasdai yang mengatakan:
“Perempuan yang
kawin tanpa izin walinya, perkawinan tersebut adalah batal”.
Dalam hadis ini
dituntut adalah izin wali, bukan diakadkan oleh wali, karena bila yang
mengakadkannya adalah walinya tentu tidak relevan lagi adanya persyaratan izin
wali, karena yang mengawinkan adalah wali itu sendiri.
Dalam KHI
berkenaan dengan wali ini mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya
Syafi’iyah. Rukun adanya wali diatur dalam pasal 19, yaitu:
“Wali nikah
dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita
yang bertindak menikahkannya.
2. Saksi
dalam Perkawinan
a.
Keberadaan
Saksi
Akad pernikahan
mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk
menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari.
Dalam menempatkan kedudukan saksi dalam perkawinan ulama yang terdiri dari
ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, menempatkannya sebagai rukun dalam perkawinan,
sedangkan ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat.
Demikian pula keadaannya bagi ulama Malikiyah. Menurut ulama ini tidak ada
keharusan untuk menghadirkan saksi dalam waktu akad perkawinan, yang diperlukan
adalah mengumumkan namun disyaratkan adanya kesaksian melalui pengumuman itu
sebelum bergaulnya.[18]
Pendapat yang
berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas datang dari ulama Syi’ah Imamiyah.
Bagi mereka tidak ada keharusan adanya saksi waktu berlangsungnya akad
perkawinan bahkan akad dapat berlangsung tanpa adanya saksi. Keberadaan saksi
bagi mereka hanya sunnah.
Dasar hukum
keharusan saksi dalam akad pernikahan ada dalam bentuk ayat al-Quran dan
beberapa hadis Nabi.
Adapun ayat
al-Quran adalah surat al-Thalaq ayat 2:
“Apabila mereka
telah mendekati akhir iddah mereka, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi di
antaramu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.
Adapun hadis
Nabi adalah sabda Nabi dari ibnu Abbas menurut riwayat al-Tirmizi:
“Pelacur-pelacur
itu adalah orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi”.
Hadis Nabi dari
Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad:
“Tidak ada
pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”
Dalam KHI
sendiri mengatur saksi dalam perkawinan yang materinya keseluruhannya terambil
dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh Syafi’iyah. Ketentuan saksi
merupakan rukun dan harus dua orang saksi terdapat dalam pasal 24, yaitu:
1.
Saksi dalam perkawinan merupakan rukun
pelaksanaan akad nikah.
2.
Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua
orang saksi.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Slamet,
Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung : CV Pustaka
Setia.
Al-Utsaiin
Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz
Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah
Tangga. Surabaya : Risalah Gusti.
Idris, Ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Idris, Ramulyo.
1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara
Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam. Jakarta
: Sinar Grafika.
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh Islam. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum
Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang
Perkawinan. Jakarta : Kencana.
Dikutip,
http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012.
[2] Mohd. Idris Ramulyo,S.H,
M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama,
dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hlm. 43
[3] Ibid, Mohd. Idris
Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Hlm. 4
[4] Prof. Dr. Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam
di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
[6] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud,Pernikahan
Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991),
hlm. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar