Kamis, 07 Desember 2017

PERKAWINAN DALAM ISLAM

PERKAWINAN DALAM ISLAM

Perkawinan atau nikah menurut bahasa ialah berkumpul dan bercampur. Menurut istilah syarak pula ialah Ijab dan Qabul (‘aqad) yang menghalalkan persetubuhan antara lelaki dan perempuan yang diucapkan oleh kata-kata yang menunjukkan nikah, menurut peraturan yang ditentukan oleh Islam. Perkataan zawaj digunakan di dalam al-Quran bermaksud pasangan dalam penggunaannya perkataan ini bermaksud perkawinan Allah s.w.t. menjadikan manusia itu berpasang-pasangan, menghalalkan perkawinan dan mengharamkan zina.
Dalam konteks pemeliharaan keturunan, memelihara agar jenis manusia tetap berkembang dan berketurunan, jangan sampai musnah karena kesia-siaan manusia. Oleh sebab itu, nikah adalah sunah rasul dan zina adalah perbuatan yang sangat keji. Meskipun dalam syariat Islam diharamkan kawin dengan saudara sesusuan, tetapi kalau di dalam draf RUU Perkawinan disahkan, maka perkawinan semacam itu disahkannegara. Anak yang dikandung di luar nikah gara-gara pertunangan dan pacaran sebelum nikah, dengan draf RUU tersebut boleh menjadi anak yang sah, walaupun Islam memandang anak itu adalah anak zina.

Baiklah, dalam makalah ini kami akan menjelaskan tentang pengertian pernikahan, landasan hukum perkawinan, historisitas perkawinan, aneka macam jenis perkawinan pada masa jahiliyah dan pada masa zaman sekarang yaitu islamiyah, hukum taklifinya, rukun dan syarat perkawinan dan wali dan saksi dalam perkawinan. Yang tujuan kami membahas ini agar kita sebagai mahasiswa dapat mengetahui bagaimana tata cara perkawinan yang dianjurkan dalam syariat Islam.



A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan dalam fiqh berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kata na-kaha dan za-wa-ja terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin yang berarti bergabung, hubungan kelamin, dan juga berarti akad.
Menurut Fiqh, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.[1] Pernikahan itu bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[2]
Menurut Kompilasi Hukum Islam pasal 2 perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.[3]
Pernikahan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

B. Hukum Taklifi Perkawinan

Pada dasarnya Islam sangat menganjurkan kepada umatnya yang sudah mampu untuk menikah. Namun karena adanya beberapa kondisi yang bermacam - macam, maka hukum nikah ini dapat dibagi menjadi lima macam.
1.  Sunnah, bagi orang yang berkehendak dan baginya yang mempunyai biaya sehingga dapat memberikan nafkah kepada istrinya dan keperluan - keperluan lain yang mesti dipenuhi.
2. Wajib, bagi orang yang mampu melaksanakan pernikahan dan kalau tidak menikah ia akan terjerumus dalam perzinaan.
3. Makruh, bagi orang yang tidak mampu untuk melaksanakan pernikahan karena tidak mampu memberikan belanja kepada istrinya atau kemungkinan lain lemah syahwat.
4. Haram, bagi orang yang ingin menikahi dengan niat untuk menyakiti istrinya atau menyia - nyiakannya. Hukum haram ini juga terkena bagi orang yang tidak mampu memberi belanja kepada istrinya, sedang nafsunya tidak mendesak.
5Mubah, bagi orang - orang yang tidak terdesak oleh hal - hal yang mengharuskan segera nikah atau yang mengharamkannya.

C. Rukun dan Syarat Perkawinan

1. Rukun perkawinan adalah sebagai berikut :
a. Calon mempelai laki-laki.
b. Calon mempelai perempuan.
c. Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan.
d. Dua orang saksi.
e. Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
2. Syarat – syarat calon mempelai :
a. Keduanya jelas identitasnya dan dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama, jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain yang berkenaan dengan dirinya.
b. Keduanya sama-sama beragama islam.
c.  Antara keduanya tidak terlarang melangsungkan perkawinan.
d. Kedua belah pihak telah setuju untuk kawin dan setuju pula pihak yang akan mengawininya.
UU Perkawinan mengatur persyaratan persetujuan kedua mempelai ini dalam Pasal 6 dengan rumusan yang sama dengan fiqh. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua mempelai. KHI mengatur persetujuan kedua mempelai itu dalam Pasal 16.

e. Keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan perkawinan.
Batas usia dewasa untuk calon mempelai diatur dalam UU Perkawinan pada Pasal 7 dan KHI mempertegas persyaratan tersebut.

3.Wali nikah dari mempelai perempuan
a. Syarat – syarat wali :
1) Telah dewasa dan berakal sehat
2)  Laki – laki. Tidak boleh perempuan.
3) Muslim
4) Orang merdeka
5) Tidak berada dalam pengampuan
6) Berpikiran baik
7) Adil
8) Tidak sedang melakukan ihram, untuk haji atau umrah.
UU Perkawinan sama sekali tidak menyebutkan adanya wali, yang disebutkan hanyalah orang tua, itupun kedudukannya sebagai orang yang harus dimintai izinnya pada waktu melangsungkan perkawinan. Hal itu diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6). KHI berkenaan dengan wali menjelaskan secara lengkap mengikuti fiqh dalam Pasal 19, 20, 21, 22, dan 23.

4. Dua orang saksi
Syarat – syarat saksi :
a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
b. Kedua saksi itu adalah beragama Islam.
c. Kedua saksi itu adalah orang yang merdeka.
d. Kedua saksi itu adalah laki – laki.
e. Kedua saksi itu bersifat adil.
f. Kedua saksi itu dapat mendengar dan melihat.
UU Perkawinan tidak menghadirkan saksi dalam syarat-syarat perkawinan, namun menghadirkan saksi dalam Pembatalan Perkawinan yang diatur dalam Pasal 26 ayat (1). KHI mengatur saksi dalam perkawinan mengikuti fiqh yang terdapat dalam Pasal 24, 25, dan 26.
Ijab dan Qabul
Ijab adalah penyerahan dari pihak pertama, sedangkan qabul adalah penerimaan dari pihak kedua.
5. Syarat – syarat akad nikah :
a. Akad harus dimulai dengan ijab dan dilanjutkan dengan qabul.
b. Materi dari ijab dan qabul tidak boleh berbeda.
c. Ijab dan qabul harus diucapkan secara bersambungan tanpa terputus walaupun sesaat.
d. Ijab dan qabul mesti menggunakan lafaz yang jelas dan terus terang.
UU Perkawinan tidak mengatur tentang akad pernikahan, namun KHI secara jelas mengatur dalam Pasal 27, 28, dan 29.

      D. Landasan Hukum dan Historisitas Perkawinan

a.      Landasan Hukum Perkawinan
1. Menurut Fiqh Munakahat
a. Dalil Al-Qur’an
Allah SWT berfirman dalam surat An - Nisa Ayat 3 sebagai berikut :[4]
” Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empatdan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup sayu orang.” (An - Nisa : 3).
Ayat ini memerintahkan kepada orang laki - laki yang sudah mampu untuk melaksanakan nikah. Adapun yang dimaksud adil dalam ayat ini adalah adil didalam memberikan kepada istri berupa pakaian, tempat, giliran dan lain - lain yang bersifat lahiriah. Ayat ini juga menerangkan bahwa islam memperbolehkan poligami dengan syarat - syarat tertentu.
Menurut Al-Qur’an, Surat Al A’raaf  ayat 189 berbunyi :
“Dialah yang menciptakan kamu dari suatu zat dan daripadanya Dia menciptakan istrinya agar Dia merasa senang.” (Al A’raaf  : 189).
Sehingga perkawinan adalah menciptakan kehidupan keluarga anatar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tenteram (Sakinah), pergaulan yang saling mencintai (Mawaddah) dan saling menyantuni (Rohmah). [5]

b. Dalil As-Sunnah
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud r.a. dari Rasulullah yang bersabda, “Wahai para pemuda, barangsiapa dioantara kalian memiliki kemampuan, maka nikahilah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiiki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya. (H.R.Bukhari-Muslim).[6]

2. Menurut Undang – Undang Perkawinan tahun 1974
Landasan hukum terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2)  UU Perkawinan yang rumusannya :[7]
Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan – peraturan, pereundang – undangan yang berlaku.

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam
Dasar perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 dan 3 disebutkan bahwa :
Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.[8]

b.      Historisitas Perkawinan

Agama-agama wahyu memperakui bahawa perkawinan pertama di kalangan manusia berlaku antara Nabi Adam a.s. bersama Hawa. Perkawinan ini berlaku dengan suatu cara perhubungan yang dibenarkan oleh Allah s.w.t kepada mereka berdua. Ini merupakan suatu sistem perkawinan yang disyariatkan bagi membiakkan manusia untuk memerintah bumi dan mendudukinya buat sementara waktu. Selain al-Quran dan hadisth, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru turut menceritakan kejadian Adam dan Hawa sebagai pasangan pertama. Di dalam Perjanjian Lama atau Taurat, telah diselitkan beberapa ayat, antaranya yang bermaksud, “Tuhan telah berkata tidak baik Adam berkeseorangan sahaja, maka Aku jadikan seorang penolong sepertinya”.[9]
Berkenaan dengan perkawinan anak-anak Adam sendiri tidaklah dapat diketahui bagaimanakah sistemnya yang sebenar. Di dalam Tafsir Ibn Kathir, apa yang diriwayatkan oleh Ibn Jarir daripada Ibn Mas’ud dari beberapa orang sahabat yang lain, bahwa mereka berkata yang bermaksud, “Sesungguhnya tidak diperanakkan bagi Adam anak lelaki melainkan diperanakkan beserta anak perempuan, kemudian anak lelaki kandungan ini dikawinkan dengan anak perempuan dari kandungan lain, dan anak perempuan bagi kandungan ini dikawinkan dengan anak lelaki dari kandungan yang lain itu.” Pada masa itu, perkawinan berlainan kandungan boleh dijadikan seperti perkawinan berlainan keturunan.

E.        Aneka Macam Jenis Perkawinan ( Jahiliy dan Islamiy)

1.                  Perkawinan Pada Masa Jahiliyah

Dalil-dalil hadisnya:

عَنْ عُرْوَةَ اَنَّ عَائِشَةَ اَخْبَرَتْهُ: اَنَّ النِّكَاحَ فِى اْلجَاهِلِيَّةِ كَانَ عَلَى اَرْبَعَةِ اَنْحَاءٍ. فَنِكَاحٌ مِنْهَا نِكَاحُ النَّاسِ اْليَوْمَ. يَخْطُبُ الرَّجُلُ اِلَى الرَّجُلِ وَلِيَّتَهُ اَوِ ابْنَتَهُ فَيُصْدِقُهَا، ثُمَّ يَنْكِحُهَا.
Dari ‘Urwah : Sesungguhnya ‘Aisyah RA pernah memberitahukankepadanya, bahwa pernikahan di jaman jahiliyah itu ada 4 macam. 1. Pernikahan seperti yang berlaku sekarang ini, yaitu seorang laki-laki meminang wanita atau anak perempuan kepada walinya, lalu membayar mahar, kemudian menikahinya.

وَ نِكَاحٌ آخَرُ كَانَ الرَّجُلُ يَقُوْلُ ِلامْرَأَتِهِ: اِذَا ظَهَرَتْ مِنْ طَمْثِهَا اَرْسَلَ اِلىَ فُلاَنٍ فَاسْتَبْضِعِى مِنْهُ وَ يَعْتَزِلُهَا زَوْجُهَا وَ لاَ يَمَسُّهَا حَتَّى يَتَبَيَّنَ حَمْلُهَا مِنْ ذلِكَ الرَّجُلِ الَّذِى تَسْتَبْضِعُ مِنْهُ، فَاِذَا تَبَيَّنَ حَمْلُهَا اَصَابَهَا زَوْجُهَا اِذَا اَحَبَّ. وَ اِنَّمَا يَفْعَلُ ذلِكَ رَغْبَةً فِى نَجَابَةِ اْلوَلَدِ. فَكَانَ هذَا النِّكَاحُ يُسَمَّى نِكَاحَ اْلاِسْتِبْضَاعِ                      .
Bentuk pernikahan yang lain yaitu, 2. seorang laki-laki berkata kepada istrinya, ketika istrinya itu telah suci dari haidl, “Pergilah kepada siFulan, kemudian mintalah untuk dikumpulinya”, dan suaminya sendirimenjauhinya, tidak menyentuhnya sehingga jelas istrinya itu telahmengandung dari hasil hubungannya dengan laki-laki itu. Kemudian apabila telah jelas kehamilannya, lalu suaminya itu melanjutkan mengumpulinya apabila dia suka. Dan hal itu diperbuat karena keinginan untuk mendapatkan anak yang cerdas (bibit unggul). Nikah semacam ini disebut nikah istibdla’.

وَ نِكَاحٌ آخَرُ يَجْتَمِعُ الرَّهْطُ دُوْنَ اْلعَشْرَةِ فَيَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ كُلُّهُمْ. فَيُصِيْبُوْنَهَا. فَاِذَا حَمَلَتْ وَ وَضَعَتْ وَ مَرَّ لَيَالٍ بَعْدَ اَنْ تَضَعَ حَمْلَهَا اَرْسَلَتْ اِلَيْهِمْ، فَلَمْ يَسْتَطِعْ رَجُلٌ مِنْهُمْ اَنْ يَمْتَنِعَ حَتَّى يَجْتَمِعُوْا عِنْدهَا، فَتَقُوْلُ لَهُمْ. قَدْ عَرَفْتُمُ الَّذِى كَانَ مِنْ اَمْرِكُمْ، وَ قَدْ وَلَدْتُ فَهُوَ ابْنُكَ يَا فُلاَنُ، فَتُسَمِّى مَنْ اَحَبَّتْ بِاسْمِهِ. فَيُلْحَقُ بِهِ وَلَدُهَا لاَ يَسْتَطِيْعُ اَنْ يَمْتَنِعَ مِنْهُ الرَّجُلُ.
Kemudian bentuk yang lain, 3. Yaitu sejumlah laki-laki, kurang dari 10 orang berkumpul, lalu mereka semua mencampuri seorang wanita.Apabila wanita tersebut telah hamil dan melahirkan anaknya, selangbeberapa hari maka perempuan itu memanggil mereka dan tidak adaseorang pun diantara mereka yang dapat menolak panggilan tersebutsehingga merekapun berkumpul di rumah perempuan itu. Kemudian wanita itu berkata kepada mereka, “Sungguh anda semua telahmengetahui urusan kalian, sedang aku sekarang telah melahirkan,dan anak ini adalah anakmu hai fulan”. Dan wanita itu menyebut nama laki-laki yang disukainya, sehingga dihubungkanlah anak itu sebagai anaknya, dan laki-laki itupun tidak boleh menolaknya.

وَ نِكَاحٌ رَابِعٌ يَجْتَمِعُ النَّاسُ اْلكَثِيْرُ وَ يَدْخُلُوْنَ عَلَى اْلمَرْأَةِ لاَ تَمْتَنِعُ مِمَّنْ جَاءَهَا وَ هُنَّ اْلبَغَايَا. يَنْصُبْنَ عَلَى اَبْوَابِهِنَّ الرَّايَاتِ وَ تَكُوْنُ عَلَمًا. فَمَنْ اَرَادَهُنَّ دَخَل عَلَيْهِنَّ، فَاِذَا حَمَلَتْ اِحْدَاهُنَّ وَ وَضَعَتْ جَمَعُوْا لَهَا وَ دَعَوْ لَهَا اَلْقَافَةَ، ثُمَّ اْلحَقُوْا وَلَدَهَا بِالَّذِى يَرَوْنَ. فَالْتَاطَ بِهِ وَ دُعِيَ ابْنَهُ لاَ يَمْتَنِعُ مِنْ ذلِكَ. فَلَمَّا بَعَثَ اللهُ مُحَمَّدًا ص بِاْلحَقِّ هَدَمَ نِكَاحَ اْلجَاهِلِيَّةِ كُلَّهُ اِلاَّ نِكَاحَ النَّاسِ اْليَوْمَ. البخارى و ابو داود. فى نيل الاوطار 6:178-179
Bentuk ke-4 yaitu, berhimpun laki-laki yang banyak, lalu mereka mencampuri seorang wanita yang memang tidak akan menolak setiap laki-laki yang mendatanginya, sebab mereka itu adalah pelacur-pelacur yang memasang bendera-bendera di muka pintu merekasebagai tanda, siapasaja yang menginginkannya boleh masuk.Kemudian jika salah seorang diantara wanita itu ada yang hamil danmelahirkan anaknya, maka para laki-laki tadi berkumpul di situ, danmereka pun memanggil orang-orang ahli firasat, lalu dihubungkanlah anak itu kepada ayahnya oleh orang-orang ahli firasat itu menurut anggapan mereka. Maka anak itu pun diakuinya, dan dipanggilsebagai anaknya, dimana orang (yang dianggap sebagai ayahnya) itutidak boleh menolaknya. Kemudian setelah Allah mengutus nabiMuhammad SAW sebagai Rasul dengan jalan haq, beliaumenghapus pernikahan model jahiliyah tersebut keseluruhannya,kecuali pernikahan sebagaimana yang berjalan sekarang ini.[10]
Jenis-Jenis perkawinan pada masa jahiliyah:

1.                  Al-Istibdha’
Praktik perkawinan semacam ini bertujuan mencari bibit unggul sebagai keturunan. Caranya, suami memerintahkan istrinya untuk tidur seranjang dengan laki-laki yang gagah perkasa, kaya dan pandai. Harapannya agar anak yang dilahirkannya nanti dari hasil hubungan seks menjadi sama dan setidaknya meniru jejak dan karakter sang ayah. Meskipun, ayahnya itu bukanlah suaminya yang sah. Suami memerintah istrinya ketika sang isteri suci dari haidhnya: “Pergilah engkau kepada si fulan (biasanya adalah seorang yang tampan / bagus rupanya, dsb), dan kumpullah engkau dengannya (yakni jima’)”. Setelah itu suami yang pertama tadi tidak akan menyentuhnya sama sekali sampai jelas bahwa si isteri itu hamil dari laki-laki tersebut. Jika telah nyata hamil maka si laki-laki yang terakhir ini dapat memiliki isteri itu, jika ia mau.

Adat perkawinan semacam ini banyak ditemui di kalangan penduduk kota Kabul, Turki, dan Sparta. “Di Sparta, masyarakat akan mencemooh kaum laki-laki sebagai suami yang cemburu pada sang istrinya yang melakukan kebiasaan seperti itu”.[11]

2.                  Al-Mukhadanah
Perkawinan ini tak ubahnya dengan poliandri. Poliandri adalah Satu orang perempuan memiliki banyak suami. Si perempuan melayani semua laki-laki tadi dan kalau nanti hamil maka salah satu dari laki-laki yang menggauli harus mengakui bahwa anak yang dikandung si perempuan adalah anaknya. Sedangkan siapa yang mau dijadikan bapak dari anaknya tergantung pilihan perempuan. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir.
Pada umumnya banyak terjadi di negeri Yaman. Di negeri itu terkenal sebutan Ar-Ranth. Selain Yaman, juga terjadi diTurkistan, Siberia, India Selatan, Srilangka, Vietnam dan di bagian benua Afrika.

3.         Asy-Syighar
Bentuk dan praktik perkawinan ini ialah, kedua orangtua dari kedua mempelai, menukarkan kedua anak laki-laki dan perempuannya, masing-masing memberikan mas kawin kepada anaknya sendiri. Namun, perkawinan semacam ini dilarang Nabi. “Islam tidak mengenal kawin Syighar,” sabdanya.

4.         Perkawinan Warisan
Perkawinan ini terjadi karena ada anggapan bahwa seorang istri itu tidak lebih dari barang warisan yang dapat diberikan kepada siapa saja yang mengendaki. Jadi, saudara suami dapat mewarisi jika suaminya telah meninggal. Istri yang ditinggalkan mati suaminya itu tidak berhak menolak atau kembali pada keluarganya sebelum sang saudara suami itu datang dan memperbolehkan kembali pada keluarganya. Begitu pula bila sang ayah meninggal dunia, anak sulungnya berhak mengawini istri ayahnya yang bukan ibu kandungnya. Perkawinan model ini banyak dilakukan di Persia.


5.         Perkawinan Mut’ah
Bentuknya semacam kawin kontrak. Dalam perkawinan ini ditentukan waktunya dan syaratnya. Perkawinan ini akan berakhir apabila waktunya habis berdasarkan syarat yang ditentukan sebelumnya. Menurut berbagai kalangan, perkawinan semacam ini haram hukumnya.

6.         Perkawinan semacam pelacur
Perkawinan yang terjadi ketika seorang laki-laki berhubungan dengan perempuan yang bukan istrinya, lantas memberi imbalan. Jika tidak memakai imbalan, maka dinamakan perzinaan. Perzinaan ialah percampuran antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan istrinya. Biasanya dilakukan tanpa memakai imbalan. Terjadi suka sama suka. Pada rumah perempuan itu biasanya dikibarkan bendera, yang menandakan di dalam rumah itu disediakan wanita bersangkutan. Jika wanita itu melahirkan anak, ia berhak meminta pertanggungjawaban pada laki-laki yang mirip dengan wajah anaknya.

7.         Perkawinan tukar-menukar istri
Di masa jahiliyah juga dikenal tukar menukar istri. Terjadi untuk beberapa waktu tertentu. Adat tukar-menukar istri ini terjadi dan berlaku di kalangan beberapa suku di Afrika, penduduk Hawai dan Tibet. Tradisi perkawinan tukar-menukar istri tersebar juga ke negeri Paris.

8.         Perkawinan keroyokan
Sekelompok lelaki, kurang dari 10 orang, semuanya menggauli seorang wanita. Bila telah hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut tidak seorangpun boleh absent. Kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk di nisbahkan sebagai bapak dari anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak. Dan biasanya penunjukan ayah dari jabang bayi setelah jabang bayi lahir

9.         Perkawinan syar’iy/ ihshan’
Model perkawinan ini tidak ada ubahnya dengan perkawinan yang sekarang terjadi, yaitu dengan cara melamar kepada si wali wanita yang akan dinikahi kemudian dilanjutkan dengan pernikahan dengan acara ijab qobul dan pemberian mahar kepada mempelai wanita.

2.                  Perkawinan Pada Masa Islamiyah

Setelah Islam datang, membawa nilai-nilai yang sangat luhur dan agung, di dalamnya juga diatur hubungan antarmanusia. Termasuk hubungan perkawinan. Islam menata perkawinan dengan sempurna, sebab perkawinan menjadi masalah pokok dan vital. Melalui perkawinan manusia dapat saling mengasihi, menjalin hubungan kekeluargaan dan meneruskan keturunan.
Maka Rasul SAW menghapus semua jenis pernikahan jahiliyah itu kecuali pernikahan syar’iy yang kita kenal sekarang.

F.         Nikah Tanpa Wali dan Saksi

1.         Wali Dalam Perkawinan

a.      Pengertian Wali
Yang dimaksud dengan wali secara umum adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain. Dapatnya dia bertindak atas nama orang itu adalah karena orang lain itu memiliki suatu kekurangan pada dirinya yang tidak memungkinkan ia bertindak sendiri secara hukum, baik dalam urusan bertindak atas harta atau atas dirinya. Dalam perkawinan wali itu adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah. Akad nikah dilakukan oleh dua pihak, yaitu pihak laki-laki yang dilakukan oleh mempelai laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.[12]

b.      Kedudukan Wali dalam Perkawinan
Keberadaan seorang wali dalam akad nikah adalah suatu yang mesti dan tidak sah akad perkawinan yang tidak dilakukan oleh wali. Wali itu ditempatkan sebagai rukun dalam perkawinan menurut kesepakatan ulama secara prinsip. Dalam akad perkawinan itu sendiri wali dapat berkedudukan sebagai orang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dan dapat pula sebagai orang yang diminta persetujuannya untuk kelangsungan perkawinan tersebut.
Memang tidak ada satu ayat al-Quran pun yang jelas secara ibarat al-nash yang menghendaki keberadaan wali dalam akad perkawinan. Namun dalam al-Quran terdapat petunjuk nash yang ibaratnya tidak menunjuk kepada keharusan adanya wali, tetapi dari ayat tersebut secara isyarat nash dapat dipahami menghendaki adanya wali.
Di antara ayat al-Quran yang mengisyaratkan adanya wali adalah sebagai berikut:

Surat al-Baqarah (2) ayat 232:

Dan bila kamu telah menalak perempuan dan habis iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin dengan bakal suami mereka.

Surat al-Baqarah (2) ayat 221:

Janganlah kamu mengawinkan anak-anak perempuanmu dengan laki-laki musyrik. Sesungguhnya hamba sahaya mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun ia menarik hatimu.

Surat an-Nur (24) ayat 32:

Dam kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (untuk kawin) di antara hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memberikan kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

Memang hal-hal yang berkenaan dengan kawin dan mengawinkan Allah mengalamatkan titahnya kepada wali, karena dalam kehidupan masyarakat terutama masyarakat Arab waktu turun ayat-ayat ini perkawinan itu berada di tangan wali.
Di samping itu, terdapat pula ayat-ayat al-Quran yang memberikan pengertian perempuan itu kawin sendiri tanpa mesti memakai wali. Di antaranya adalah:


Dalam Surat al-Baqarah (2) ayat 230:

Kemudian jika suami menalaknya (setelah talaq kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain.


Dalam Surat al-Baqarah ayat 234:

Bila telah sampai iddahnya tidak ada halangan bagimu terhadap apa yang diperbuatnya terhadap dirinya secara baik.

Dari ayat-ayat kelompok kedua tersebut di atas ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah berkesimpulan bahwa perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melakukan sendiri perkawinannya dan tidak perlu wali mengakadkannya. Alasan rasional adalah orang yang telah dewasa dan berakal dapat bertindak hukum dengan sendirinya tanpa diperlukan bantuan walinya.

Banyak ulama-ulama dan imam-imam mazhab berpendapat tentang ada atau tidak ada wali dalam perkawinan:
a.       Ulama Hanafiyah dan ulama Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa untuk perkawinan anak kecil baik sehat akal atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali yang akan mengakadkan perkawinannya. Sedangkan perempuan yang sudah dewasa dan sehat akalnya dapat melangsungkan sendiri akad perkawinannya tanpa adanya wali.[13]
b.      Ulama Syafi’iyah dan ulama Hanabilah berpendapat bahwa setiap akad perkawinan dilakukan oleh wali, baik perempuan itu dewasa atau masih kecil, janda atau masih perawan, sehat akalnya atau tidak sehat. Tidak ada hak sama sekali bagi perempuan untuk mengakadkan perkawinannya.[14]
c.       Pendapat imam Malik menurut riwayat Asyhab wali mutlak dalam suatu perkawinan dan tidak sah perkawinan tanpa adanya wali. Namun menurut riwayat Ibnu Qasim, keberadaaan wali hanyalah sunnah hukumnya dan tidak wajib.[15] Dalam literatur lain dinukilkan bahwa keberadaan wali hanya diwajibkan bila perempuan yang kawin itu adalah perempuan yang bangsawan dan tinggi martabatnya, sedangkan selain itu tidak diperlukan wali.[16]
d.      Ulama Zhahiriyah berpendapat bahwa untuk perempuan yang masih kecil atau tidak sehat akal diwajibkan adanya wali, sedangkan untuk perempuan yang sudah dewasa yang diwajibkan adalah izin wali untuk melangsungkan perkawinan.[17] Yang menjadi dalil bagi mereka adalah sabda Nabi SAW, dari Aisyah yang dikeluarkan empat perawi hadis selain al-Nasdai yang mengatakan:

“Perempuan yang kawin tanpa izin walinya, perkawinan tersebut adalah batal”.

Dalam hadis ini dituntut adalah izin wali, bukan diakadkan oleh wali, karena bila yang mengakadkannya adalah walinya tentu tidak relevan lagi adanya persyaratan izin wali, karena yang mengawinkan adalah wali itu sendiri.

Dalam KHI berkenaan dengan wali ini mengikuti fiqh mazhab jumhur ulama, khususnya Syafi’iyah. Rukun adanya wali diatur dalam pasal 19, yaitu:
“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya.





2.      Saksi dalam Perkawinan

a.                  Keberadaan Saksi
Akad pernikahan mesti disaksikan oleh dua orang saksi supaya ada kepastian hukum dan untuk menghindari timbulnya sanggahan dari pihak-pihak yang berakad di belakang hari. Dalam menempatkan kedudukan saksi dalam perkawinan ulama yang terdiri dari ulama Syafi’iyah dan Hanabilah, menempatkannya sebagai rukun dalam perkawinan, sedangkan ulama Hanafiyah dan Zhahiriyah menempatkannya sebagai syarat. Demikian pula keadaannya bagi ulama Malikiyah. Menurut ulama ini tidak ada keharusan untuk menghadirkan saksi dalam waktu akad perkawinan, yang diperlukan adalah mengumumkan namun disyaratkan adanya kesaksian melalui pengumuman itu sebelum bergaulnya.[18]
Pendapat yang berbeda dengan pendapat jumhur ulama di atas datang dari ulama Syi’ah Imamiyah. Bagi mereka tidak ada keharusan adanya saksi waktu berlangsungnya akad perkawinan bahkan akad dapat berlangsung tanpa adanya saksi. Keberadaan saksi bagi mereka hanya sunnah.
Dasar hukum keharusan saksi dalam akad pernikahan ada dalam bentuk ayat al-Quran dan beberapa hadis Nabi.
Adapun ayat al-Quran adalah surat al-Thalaq ayat 2:
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddah mereka, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi di antaramu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”.

Adapun hadis Nabi adalah sabda Nabi dari ibnu Abbas menurut riwayat al-Tirmizi:
“Pelacur-pelacur itu adalah orang yang menikahkan dirinya sendiri tanpa adanya saksi”.

Hadis Nabi dari Amran ibn Husein menurut riwayat Ahmad:
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil.”

Dalam KHI sendiri mengatur saksi dalam perkawinan yang materinya keseluruhannya terambil dari kitab fiqh menurut jumhur ulama terutama fiqh Syafi’iyah. Ketentuan saksi merupakan rukun dan harus dua orang saksi terdapat dalam pasal 24, yaitu:
1.      Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
2.      Setiap perkawinan harus dipersaksikan oleh dua orang saksi.



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet, Drs. H. Aminudin. 1999. Fiqh Munakahat I. Bandung : CV Pustaka Setia.
Al-Utsaiin Muhammad Sholeh, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud. 1991. Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga. Surabaya : Risalah Gusti.

Idris, Ramulyo Muh. 1996. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Idris, Ramulyo. 1995. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum IslamJakarta : Sinar Grafika.

Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqh IslamBandung : Sinar Baru Algensindo.

Syarifuddin, Amir. 2009. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan. Jakarta : Kencana.

            Dikutip, http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012.


[1] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, ( Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2010), hlm. 374
[2] Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama, dan Zakat menurut Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), Hlm. 43
[3] Ibid, Mohd. Idris Ramulyo,S.H, M.H, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), Hlm. 4
[4] Prof. Dr. Amir SyarifuddinHukum Perkawinan Islam di Indonesia : Antara Fiqh Munakahat dan Undang – Undang Perkawinan, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm. 35
[5] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 3-4
[6] Syekh Muhammad Sholeh Al-Utsaiin, Syekh Abdul Aziz Ibn Muhammad Dawud,Pernikahan Islami : Dasar Hidup Beruah Tangga, (Surabaya : Risalah Gusti 1991), hlm. 29
[7] Ibid, Moh. Idris ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 50
[8] Dikuti dari  http://hukum.unsrat.ac.id/ma/kompilasi.pdf diakses tanggal 10 maret 2012
[9] Abdul Kadir, 1983: 114
[10] HR.Bukhari dan Abu Dawud, dalam Nailul Authar juz 6, hal. 178-179
[11]  Maftuhin Asyharie, Sebelas Istri Rasulullah saw (2002).

[12] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana. 2014. Hal. 69
[13] Ibid. Hal. 74
[14] Amir Syarifuddin, Ibid. Hal. 74
[15] Ibid.
[16] Ibid.
[17] Ibid.
[18] Amir Syarifuddin, Ibid. Hal. 81

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...