Kamis, 07 Desember 2017

KEADAAN MEMAKSA (FORCE MAJEUR/OVERMATCH)

“KEADAAN MEMAKSA ( FORCE MAJEUR/OVERMACHT )


Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak lain berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi. Pada perikatan, jika debitur tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan itikad yang baik dan sebagaimana mestinya maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan kepada debitor supaya ia memenuhi  kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan hukum itu merupakan perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan uang”. Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang jika kerugian yang diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Objek perikatan dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan yang berupa memberikan sesuatu prestasinya melalui penyerahan suatu barang misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Berbuat sesuatu adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu. 
Overmacht pada pasal 1244 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : jika ada alasan untuk itu, debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan  bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya.   Pasal ini, walaupun mengenai pembayaran ganti kerugian, juga terkait dengan  masalah beban pembuktian, yaitu apabila terjadi wanprestasi, debitur dihukum membayar ganti kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa terjadinya wanprestasi itu disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga atau diluar kemampuan debitur. Debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu, tetapi ternyata debitur tidak memenuhi kewajibannya, maka timbul kerugian pada debitur. Dalam hal demikian, debitur akan berusaha mengemukakan adanya keadaan memaksa untuk menghindarkan diri dari tuntutan ganti rugi dari kreditur.



1.        Pengertian Keadaan Memaksa
Keadaan memaksa/Force Majeure/Overmacht adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut :
a.       Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan benda objek perikatan
b.      Tidak dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitor untuk berprestasi.
c.       Peristiwa itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi waktu membuat perikatan.
Sedangkan menurut Rahmat S.S. Soemadipradja dalam bukunya, “Penjelasan Hukum dalam Keadaan Memaksa (Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure)”, unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut :
a.       Peristiwa yang tidak terduga.
b.      Tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor.
c.       Tidak ada itikad buruk dari debitor.
d.      Adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitor.
e.       Keadaan itu menghalangi debitor berprestasi.
f.       Jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan.
g.       Keadaan di luar kesalahan debitor.
h.      Debitor tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang).
i.        Kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitor
  maupun pihak lain).
j.        Debitor tidak terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.

 Dalam keadaan memaksa, debitor tidak dapat disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor, juga pihak kreditor tidak berhak mendapatkan ganti rugi ( pasal 1244 dan 1245 KUHPerd ). Syarat batal demi hukum perlu diperjanjikan . Sedangkan keadaan diluar kemampuan (overmacht) justru tidak perlu diperjanjikan. Dengan teerjadinya keadaan diluar kemampuan, maka perjanjian di anggap batal, diantaranya karena :
a.       Musnahnya objek tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPerd).
b.      Musnahnya barang yang disewakan (Pasal 1553 KUHPerd).
c.       Musnahnya pekerjaan diluar kelalaian pemborong (Pasal 1607 KUHPerd).
d.      Bereakhirnya carter kapal karena kapal musnah (Pasal 462 KUH Dag).

2.        Teori Keadaan Memaksa
 Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu :
a.       Teori ketidakmungkinan (Onmogelijkeheid)
b.      Teori penghapusan atau peniadaan kesalahan (Afwesigheid van schuld).
Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan prestasi yang dierjanjikan, sebab ketidakmampuan debitur untuk menghadapi kenyataan. Ketidakmungkinan tersebut dikategorikan sebagai ketidakmungkinan absolute atau objektif (Absolute Onmogelijkheid), yaitu ketidakmungkinan yang mutlak karena debitur sama sekali tidak mungkin melakukan prestasinya pada kreditur.
Adapaun apabila debitur masih mungkin melakukan prestasinya, maka tergolong pada ketidakmungkinan relatif (Relative Onmogelijkheid), yaitu ketidakmungkinan yang berada diantara mungkin masih dapat melaksanakan prestasinya atau tidak mungkin .
Teori kedua adalah teori  penghapusan atau peniadaan kesalahan (Afwesigheid van schuld), artinya apabila terjadi keadaan memaksa (Overmacht) pada debitur, terhapuslah keadaan debitur. Oleh karena itu, teori penghapusan disebut sebagai overmacht peniadaan kesalahan. Dengan demikian debitur tidak dapat dimintai pertanggungjawaban kreditur karena tidak memikul kesalahan apapun.

3.        Akibat Hukum Keadaan Memaksa
Akibat hukum dari keadaan memaksa (Overmacht), menurut pasal 1244 KUHperdata adalah tidak perlunya debitur memenuhi prestasinya sebagaimana ditentukan dalam perikatan, artinya debitur tidak perlu membayar ganti rugi. Debitur melakukan kontra prestasi dan kreditur tidak berhak meminta kepada debitur agar memenuhi prestasinya. Hal ini karena dengan keadaan memaksa, debitur terlepas kewajibannya terhadap kreditur.

Akibat keadaan memaksa yang melepaskan hak kreditur dan kewajiban debitur disebut dengan akibat keadaan memaksa relatif.
Pasal 1244 menyatakan bahwa dalam hal debitur tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik maka ia bisa membebaskan diri dari tanggung jawab kerugian, kalau ia berhasil membuktikan bahwa munculnya peristiwa yang menghalangi prestasi sehingga debitur tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik atas bagaimana mestinya, tidak dapat diduga sebelumnya dan ia pun tidak punya andil dalam munculnya peristiwa halangan itu.
 Jika debitur pada waktu menutup perjanjian sudah menduga atau dapat menduga, bahwa peristiwa yang menghalangi prestasi akan muncul, namun ia tetap menutup perjanjian itu, dan apabila peristiwa tersebut benar-benar terjadi maka hal tersebut patut untuk dipertanggungjawabkan kepada debitur. Jika debitur sudah tahu atau patut menduga, bahwa perang akan segera meletus dan akan ada larangan untuk memperdagangkan barang yang diperjanjikan mengakibatkan debitur tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Dalam pasal 1444 KUHPerdata, debitur tidak mempunyai kesalahan dalam peristiwa tersebut, tetapi kerugian harus dibebankan kepada debitur.
Pasal 1243 mengatur tentang kewajiban ganti kerugian, jika debitur lalai memberikan prestasi. Jika debitur lalai memenuhi kewajiban perikatannya, maka debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya kewajiban karena hal yang tidak terduga. Agar debitur dapat mengemukakan adanya force majeure maka debitur berkewajiban untuk membuktikan : 
a.              Debitur tidak mempunyai kesalahan atas timbulnya halangan prestasi.
b.              Halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya.
c.              Debitur tidak menanggung resiko baik menurut undang-undang maupun
          ketentuan perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung resiko.

4.        Macam-Macam Keadaan Memaksa
Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya, “Hukum Perdata Indonesia” membagi keadaan memaksa (overmacht) menjadi 2 macam, yaitu :
a)      Keadaan memaksa objektif.
b)      Keadaan memaksa subjektif atau relatif
Keadaan memaksa objektif (Vollmar menyebutnya Absolute Overmacht). Dasarnya adalah ketidakmungkinan memenuhi prestasi karena bendanya lenyap atau musnah[1].
Kemudian keadaan memaksa subjektif  (Vollmar menyebutnya relatieve overmacht). Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena adanya peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.[2]
Peristiwa ini mengakibatkan debitor bukan tidak mungkin memenuhi prestasi, melainkan kesulitan memenuhi prestasi, bahkan jika dipenuhi juga, memerlukan waktu dan pembiayaan yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara. Perikatan tidak berhenti dan tidak batal, hanya pemenuhan prestasinya tertunda. Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan. Akam tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditor karena sudah tidak diperlukan lagi, maka perikatan itu gugur (verval).
Perbedaan antara “Perikatan batal” dan “Perikatan gugur” terletak pada ada tidaknya objek perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.
Pada perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin dipenuhi oleh debitor ( sifat prestasi).
Pada perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga memungkinkan dipenuhi dengan segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditor. Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh kreditor, tetapi kreditor tidak menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan (vernietigbaar). Persamaannya adalah perikatan batal dan perikatan gugur keduanya itu tidak mencapai tujuan.
Yang sulit bagi hakim untuk memutuskan ialah jika barang itu masih ada  atau dapat didatangkan, sehingga perjanjian sebetulnya masih dapat dilaksanakan. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan apakah sungguh-sungguh terdapat suatu keadaan yang demikian, hingga dapat dikatakan bahwa tidak sepatutnya lagi untuk dalam keadaan itu memaksa debitur memenuhi perjanjiannya. Jika sebagai akibat kejadian tak disangka itu, barang yang dimaksudkan dalam perjanjian telah musnah maka pelaksanaan perjanjian sudah jelas tidak dapat dituntut untuk seterusnya.


Akan tetapi jika barang masih ada atau masih utuh pula, menurut pendapat yang lazim dianut dalam pelaksanaan perjanjian : Penyerahan masih dapat dituntut oleh kreditor, manakala keadaan memaksa sudah berakhir. Hanya jelas saja kreditur tidak boleh menuntut pembayaran kerugian, karena tidak ada kesalahan pada pihak debitur.

5.    Contoh Kasus Keadaan Memaksa
1.    Contoh Kasus 1
Tidak ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi perjanjian (Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958).
Dalam perkara Super Radio Company NV melawan Oey Tjoeng Tjoeng, baik PN maupun PT menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat Super Radio Company NV tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure, karena apabila tergugat tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau maka untuk memenuhi kewajibannya terhadap  penggugat, ia harus berusaha mendapatkan sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan cara melanggar hukum. Baik PN maupun  PT menyatakan bahwa
tergugat Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya. Sebagai akibatnya, kepada tergugat diwajibkan untuk menyerahkan sepeda motor AJS dengan menerima sisa harga sepeda motor itu menurut penetapan jawatan yang bersangkutan. Di samping itu, juga menghukum tergugat membayar uang paksa Rp.100,00 sehari untuk setiap hari keterlambatan penyerahan sepeda motor itu. Pengadilan tingkat Kasasi menguatkan putusan PN dan PT tersebut dengan menyatakan bahwa Super Radio Company NV harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Hal ini sesuai dengan keinginan penggugat yang tidak menuntut ganti kerugian, melainkan hanya pelaksanaan isi perjanjian. Mengenai besarnya jumlah uang paksa terserah judex facti, dalam hal ini mengenai penghargaan tentang kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, oleh sebab keberatan itu tidak mengenai hal pelaksanaan hukum atau kesalahan pelaksanaan hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UU MA Indonesia.




2.    Contoh Kasus II
Tidak sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat
diatasi (Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957). Putusan MA No. Reg. 15 K/Sip/1957 mengenai risiko dalam Perjanjian Sewa Beli menggambarkan hal tersebut. Kasus posisinya adalah sebagai berikut.
Sebuah toko mobil NV Handel Maatschappij L’auto menggugat seorang bernama G.G. Jordan untuk membayar lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah disewa beli olehnya. Mobil tersebut telah diambil oleh tentara Jepang ketika tentara itu mendarat di Pulau Jawa Oktober 1944. Jordan berpendirian, ia sudah tidak usah membayar cicilan yang tersisa karena mobil tersebut dapat dianggap sudah musnah.   
Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951 membenarkan pendirian Jordan atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu harus diartikan sebagai suatu perjanjian sewa, dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam tingkat banding, putusan PN Surabaya tersebut dibatalkan oleh PT Surabaya, dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956, atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis perjanjian jual-beli.
Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Jordan) ditolak oleh Mahkamah Agung atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya menurut isi perjanjian sewa beli si penyewa beli juga harus menanggung risiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa adalah suatu kenyataan.
3.    Contoh Kasus III
Perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan
administratif (Put MA RI No. Reg. 3389 K/Sip/1984).
Perkara R.P. Adianto Notonindito, Direktur CV Shinta Rama sebagai penggugat
melawan PT Tirta Santika sebagai tergugat. Kasus posisinya adalah sebagai berikut.
Penggugat telah menandatangani Surat Perjanjian Sewa-menyewa Kapal
atau Charter Partij dengan tergugat. Dalam Charter Partij itu disetujui bahwa penggugat menyediakan sebuah kapal bernama OSAM TREK/BULK Carier/5.055 ton berbendera Singapura klas N.K.K. untuk tergugat. Kapal tersebut dipergunakan tergugat untuk mengangkut muatan berupa aspal curah sebanyak 4.800 ton dihitung berdasarkan survei yang ditandatangani bersama antara Master dan Perusahaan Aspal Negara dari Pelabuhan Buton
sekitar tanggal 16-17 April 1982, dan tanggal dan tempat penyerahan kembali kapal oleh tergugat dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok setelah usai bongkar muatan. Dalam hal ini, telah disetujui oleh penggugat dan tergugatbahwa jumlah uang tambang adalah Rp10.500,00 per ton FIOST/FREIGHT. Disetujui juga bahwa biaya demmurage yang harus dibayarkan oleh tergugat kepada penggugat adalah sebesar Rp2.000.000,00 setiap hari untuk kelebihan
pemakaian kapal di luar 12 hari yang telah disepakati. Menurut Time Sheet yang ditandatangani oleh kapten kapal OSAM TREK ternyata kapal OSAM TREK mengalami demurrage selama 27 hari sehingga tergugat wajib membayar 27xRp2.000.000,00 = Rp54.000.000,00 kepada penggugat sesuai Charter Partij. Penggugat dalam hal ini telah melakukan teguran berkali-kali untuk menaati Charter Partij, tetapi tergugat tidak menghiraukan. Menurut tergugat, alasan tidak memenuhi kewajiban adalah force majeure berupa keluarnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara yang berisi mengenai aturan lalu lintas barang dan bongkar muat. Dalam hal ini tergugat harus menunggu waktu atau giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983 sesuai Surat Direksi tersebut. Menurut tergugat, hal tersebut adalah Overmacht, karena dia tidak dapat berbuat apa-apa, dalam arti dengan dikeluarkannya Surat Direksi tersebut dia tidak dapat memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan.   Tergugat mendasarkan pada Pasal 13 Charter Partij yang menyebutkan mengenai overmacht selain ”act of God”, yang termasuk dalam pengertian itu adalah perintah dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan administratif yang menentukan atau mengikat atau suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi oleh pihak-pihak yang tersebut dalam perjanjian ini. Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara merupakan suatu ketentuan atau tindakan administratif dari penguasa setempat yang mengikat untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat barang di pelabuhan sehingga tergugat berpendapat hal ini sebagai overmacht.
Pengadilan Negeri dalam hal ini memutuskan tergugat bersalah melanggar surat perjanjian atau Charter Partij tanggal 6 April 1982 antara penggugat dan tergugat, dan menghukum tergugat untuk membayar secara tunai kepada penggugat jumlah uang demmurage sebesar Rp54.000.000,00 ditambahbunga sebesar 2% per bulan dihitung mulai tanggal 6 Juni 1982 hingga lunas pembayaran.
Berkaitan dengan kasus tersebut, Pengadilan Tinggi telah memutuskan
membatalkan putusan Pengadilan Negeri. Alasan atau pertimbangan hakim adalah bahwa walaupun sudah ada Notice of Readiness, yang berarti siap untuk pemuatan, pemuatan tentu harus mengikuti urutan dari penguasa setempat. Ternyata, menurut bukti T-5 yang dibuat oleh Direksi Perusahaan Aspal Negara, NV OSAM TREK tidak dapat langsung muat, tapi harus menunggu sampai giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei 1983.
Menurut Hakim PT, menunggu sampai giliran muat tiba adalah suatu fakta yang tidak dapat diatasi oleh tergugat karena fakta ini adalah suatu ketentuan atau tindakan administrasi dari penguasa setempat yang mengikat untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat di pelabuhan. Hal ini merupakan suatu  kondisi yangbersifat force majeure.  
MA telah membatalkan putusan judex facti karena menilai Pengadilan Tinggi
telah salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa dasar hukum perjanjian antara penggugat dan tergugat adalah Charter Partij yang telah memuat antara lain jumlah hari bongkar muat barang dari kapal adalah dua belas hari. Apabila lebih dari dua belas hari tergugat akan dikenakan biaya demmurage sebesar Rp2.000.000,00 untuk satu hari kapal menunggu. Hari tersebut dihitung sejak kapal tiba dalam keadaan siap menerima muatan barang yang dinyatakan dalam ”Notice of Readiness (NOR)”. NOR tersebut telah disetujui oleh charterer, ini berarti pada saat itu kapal telah siap menerima muatan. Charterer dalam hal ini telah lalai memenuhi isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah terjadi demmurage selama 27 hari. Sebagai catatan, NOR dibuat berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata sehingga Charter Partij mengikat para pihak sebagai hukum. Atas hal tersebut, MA berpendapat bahwa force majeure yang dikemukakan oleh tergugat berupa terbitnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah keliru karena Direksi bukan penguasa melainkan pihak yang berkontrak.
Dengan demikian, menurut MA, alasan yang dikemukakan oleh tergugat tentang adanya force majeure untuk membebaskan tergugat mengganti kerugian tidak berdasarkan hukum.



 Kesimpulan
Keadaan memaksa/Force Majeure/Overmacht adalah keadaan tidak dipenuhiny prestasi oleh debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi ketika membuat perikatan
Terdapat dua teori mengenai force majeure yaitu teori absolut dan teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa, apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang, sedangkan menurut teori relatif keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi, tetapi dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar.
Kemudian, keadaan memaksa (overmacht) menjadi 2 macam, yaitu :
a)      Keadaan memaksa objektif.
b)      Keadaan memaksa subjektif atau relatif
Keadaan memaksa objektif (Vollmar menyebutnya Absolute Overmacht). Dasarnya adalah ketidakmungkinan memenuhi prestasi karena bendanya lenyap atau musnah.
Kemudian keadaan memaksa subjektif  (Vollmar menyebutnya relatieve overmacht). Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi karena adanya peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Force majeure harus terjadi setelah dibuatnya persetujuan, jika pelaksanaannya sejak dibuatnya persetujuan maka persetujuan tersebut batal demi hukum. Terjadinya force majeure tidak menutup kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari kelalaiannya sehingga menyebabkan force majeure maka debitur tidak dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan debitur harus mengganti kerugian yang terjadi jika masih memungkinkan.








[1] H.F.A. Vollmar. Inleiding Nederlands Burgerlijke Recht. 3e druk. Tjeenk Willink. Zwole. 1952
[2] H.F.A. Vollmar, Ibid. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...