“KEADAAN
MEMAKSA ( FORCE MAJEUR/OVERMACHT )
Perikatan
adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua
orang
atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditor) dan pihak lain
berkewajiban (debitor) atas sesuatu prestasi. Pada perikatan, jika debitur
tidak memenuhi kewajibannya secara sukarela dengan itikad yang baik dan
sebagaimana mestinya maka kreditur dapat meminta bantuan hukum agar ada tekanan
kepada debitor supaya ia memenuhi
kewajibannya. Untuk menentukan bahwa suatu hubungan hukum itu merupakan
perikatan, pada mulanya para sarjana menggunakan ukuran dapat “dinilai dengan
uang”. Suatu hubungan dianggap dapat dinilai dengan uang jika kerugian yang
diderita seseorang dapat dinilai dengan uang. Objek perikatan dapat berupa
memberikan sesuatu, berbuat, dan tidak berbuat sesuatu. Pada perikatan yang
berupa memberikan sesuatu prestasinya melalui penyerahan suatu barang misalnya
penjual berkewajiban menyerahkan barangnya atau orang yang menyewakan
berkewajiban memberikan kenikmatan atas barang yang disewakan. Berbuat sesuatu
adalah setiap prestasi untuk melakukan sesuatu.
Overmacht pada pasal 1244
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa : jika ada alasan untuk itu, debitur harus
dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga
apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang
tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan karena suatu hal tak terduga,
pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemuanya itu pun jika itikad
buruk tidaklah ada pada pihaknya. Pasal ini, walaupun mengenai pembayaran ganti
kerugian, juga terkait dengan masalah
beban pembuktian, yaitu apabila terjadi wanprestasi, debitur dihukum membayar
ganti kerugian jika ia tidak dapat membuktikan bahwa terjadinya wanprestasi itu
disebabkan oleh keadaan yang tidak terduga atau diluar kemampuan debitur.
Debitur mempunyai kewajiban untuk melakukan sesuatu, tetapi ternyata debitur
tidak memenuhi kewajibannya, maka timbul kerugian
pada debitur. Dalam hal demikian, debitur akan berusaha
mengemukakan adanya keadaan memaksa untuk menghindarkan diri dari tuntutan ganti rugi dari kreditur.
1.
Pengertian
Keadaan Memaksa
Keadaan
memaksa/Force Majeure/Overmacht adalah keadaan tidak dipenuhinya prestasi oleh
debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat
diduga akan terjadi ketika membuat perikatan. Unsur-unsur keadaan memaksa
adalah sebagai berikut :
a. Tidak
dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang membinasakan atau memusnahkan
benda objek perikatan
b. Tidak
dipenuhi prestasi karena terjadi peristiwa yang menghalangi perbuatan debitor
untuk berprestasi.
c. Peristiwa
itu tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi waktu membuat perikatan.
Sedangkan menurut Rahmat S.S. Soemadipradja dalam bukunya, “Penjelasan Hukum dalam Keadaan
Memaksa (Syarat-syarat pembatalan perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force
majeure)”, unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut :
a. Peristiwa
yang tidak terduga.
b. Tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada debitor.
c. Tidak
ada itikad buruk dari debitor.
d. Adanya
keadaan yang tidak disengaja oleh debitor.
e. Keadaan
itu menghalangi debitor berprestasi.
f. Jika
prestasi dilaksanakan maka akan terkena larangan.
g. Keadaan di luar kesalahan debitor.
h. Debitor
tidak gagal berprestasi (menyerahkan barang).
i.
Kejadian
tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik debitor
maupun pihak lain).
j.
Debitor tidak
terbukti melakukan kesalahan atau kelalaian.
Dalam keadaan memaksa, debitor tidak dapat
disalahkan karena keadaan ini timbul di luar kemauan dan kemampuan debitor,
juga pihak kreditor tidak berhak mendapatkan ganti rugi ( pasal 1244 dan 1245
KUHPerd ). Syarat batal demi hukum perlu diperjanjikan . Sedangkan keadaan
diluar kemampuan (overmacht) justru tidak perlu diperjanjikan. Dengan
teerjadinya keadaan diluar kemampuan, maka perjanjian di anggap batal,
diantaranya karena :
a. Musnahnya
objek tukar-menukar (Pasal 1545 KUHPerd).
b. Musnahnya
barang yang disewakan (Pasal 1553 KUHPerd).
c. Musnahnya
pekerjaan diluar kelalaian pemborong (Pasal 1607 KUHPerd).
d. Bereakhirnya
carter kapal karena kapal musnah (Pasal 462 KUH Dag).
2.
Teori
Keadaan Memaksa
Ada dua teori yang membahas tentang keadaan
memaksa, yaitu :
a. Teori
ketidakmungkinan (Onmogelijkeheid)
b. Teori
penghapusan atau peniadaan kesalahan (Afwesigheid van schuld).
Teori
ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan tidak
mungkin melakukan prestasi yang dierjanjikan, sebab ketidakmampuan debitur
untuk menghadapi kenyataan. Ketidakmungkinan tersebut dikategorikan sebagai
ketidakmungkinan absolute atau objektif (Absolute Onmogelijkheid), yaitu
ketidakmungkinan yang mutlak karena debitur sama sekali tidak mungkin melakukan
prestasinya pada kreditur.
Adapaun
apabila debitur masih mungkin melakukan prestasinya, maka tergolong pada
ketidakmungkinan relatif (Relative Onmogelijkheid), yaitu ketidakmungkinan yang
berada diantara mungkin masih dapat melaksanakan prestasinya atau tidak mungkin
.
Teori kedua adalah teori penghapusan atau peniadaan kesalahan
(Afwesigheid van schuld), artinya apabila terjadi keadaan memaksa (Overmacht)
pada debitur, terhapuslah keadaan debitur. Oleh karena itu, teori penghapusan
disebut sebagai overmacht peniadaan kesalahan. Dengan demikian debitur tidak
dapat dimintai pertanggungjawaban kreditur karena tidak memikul kesalahan
apapun.
3.
Akibat
Hukum Keadaan Memaksa
Akibat
hukum dari keadaan memaksa (Overmacht), menurut pasal 1244 KUHperdata adalah
tidak perlunya debitur memenuhi prestasinya sebagaimana ditentukan dalam
perikatan, artinya debitur tidak perlu membayar ganti rugi. Debitur melakukan
kontra prestasi dan kreditur tidak berhak meminta kepada debitur agar memenuhi
prestasinya. Hal ini karena dengan keadaan memaksa, debitur terlepas
kewajibannya terhadap kreditur.
Akibat
keadaan memaksa yang melepaskan hak kreditur dan kewajiban debitur disebut
dengan akibat keadaan memaksa relatif.
Pasal 1244 menyatakan bahwa dalam hal
debitur tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik maka ia bisa
membebaskan diri dari tanggung jawab kerugian, kalau ia berhasil membuktikan
bahwa munculnya peristiwa yang menghalangi prestasi sehingga debitur tidak
dapat memenuhi kewajiban perikatannya dengan baik atas bagaimana mestinya,
tidak dapat diduga sebelumnya dan ia pun tidak punya andil dalam munculnya
peristiwa halangan itu.
Jika debitur pada waktu menutup perjanjian
sudah menduga atau dapat menduga, bahwa peristiwa yang menghalangi prestasi
akan muncul, namun ia tetap menutup perjanjian itu, dan apabila peristiwa
tersebut benar-benar terjadi maka hal tersebut patut untuk dipertanggungjawabkan
kepada debitur. Jika debitur sudah tahu atau patut menduga, bahwa perang akan
segera meletus dan akan ada larangan untuk memperdagangkan barang yang
diperjanjikan mengakibatkan debitur tidak dapat
memenuhi kewajibannya. Dalam pasal 1444 KUHPerdata, debitur tidak
mempunyai kesalahan dalam peristiwa tersebut, tetapi kerugian harus dibebankan
kepada debitur.
Pasal 1243 mengatur tentang kewajiban
ganti kerugian, jika debitur lalai memberikan prestasi. Jika debitur lalai
memenuhi kewajiban perikatannya, maka debitur harus dihukum mengganti biaya,
rugi, dan bunga apabila debitur tidak dapat membuktikan bahwa tidak
dilaksanakannya kewajiban karena hal yang tidak terduga. Agar debitur dapat
mengemukakan adanya force majeure
maka debitur berkewajiban untuk membuktikan :
a.
Debitur
tidak mempunyai kesalahan atas timbulnya halangan prestasi.
b.
Halangan
itu tidak dapat diduga sebelumnya.
c.
Debitur
tidak menanggung resiko baik menurut undang-undang maupun
ketentuan perjanjian atau karena
ajaran itikad baik harus menanggung resiko.
4.
Macam-Macam
Keadaan Memaksa
Prof.
Abdulkadir Muhammad, S.H. dalam bukunya, “Hukum
Perdata Indonesia” membagi keadaan memaksa (overmacht) menjadi 2 macam,
yaitu :
a) Keadaan
memaksa objektif.
b) Keadaan
memaksa subjektif atau relatif
Keadaan
memaksa objektif (Vollmar menyebutnya Absolute Overmacht). Dasarnya adalah
ketidakmungkinan memenuhi prestasi karena bendanya lenyap atau musnah[1].
Kemudian
keadaan memaksa subjektif (Vollmar
menyebutnya relatieve overmacht). Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi
karena adanya peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.[2]
Peristiwa
ini mengakibatkan debitor bukan tidak mungkin memenuhi prestasi, melainkan
kesulitan memenuhi prestasi, bahkan jika dipenuhi juga, memerlukan waktu dan
pembiayaan yang banyak. Keadaan memaksa dalam hal ini bersifat sementara.
Perikatan tidak berhenti dan tidak batal, hanya pemenuhan prestasinya tertunda.
Jika kesulitan sudah tidak ada lagi, pemenuhan prestasi diteruskan. Akam
tetapi, jika prestasi itu sudah tidak berarti lagi bagi kreditor karena sudah
tidak diperlukan lagi, maka perikatan itu gugur (verval).
Perbedaan
antara “Perikatan batal” dan “Perikatan gugur” terletak pada ada tidaknya objek
perikatan dan objek tersebut harus mungkin dipenuhi.
Pada
perikatan batal, objek perikatan tidak ada karena musnah sehingga tidak mungkin
dipenuhi oleh debitor ( sifat prestasi).
Pada
perikatan gugur, objek perikatan ada sehingga memungkinkan dipenuhi dengan
segala macam upaya debitor, tetapi tidak mempunyai arti lagi bagi kreditor.
Jika prestasi betul-betul dipenuhi oleh kreditor, tetapi kreditor tidak
menerima (menolak) karena tidak ada manfaatnya lagi, perikatan dapat dibatalkan
(vernietigbaar). Persamaannya adalah perikatan batal dan perikatan gugur
keduanya itu tidak mencapai tujuan.
Yang
sulit bagi hakim untuk memutuskan ialah jika barang itu masih ada atau dapat didatangkan, sehingga perjanjian
sebetulnya masih dapat dilaksanakan. Dalam hal ini hakim harus mempertimbangkan
apakah sungguh-sungguh terdapat suatu keadaan yang demikian, hingga dapat
dikatakan bahwa tidak sepatutnya lagi untuk dalam keadaan itu memaksa debitur
memenuhi perjanjiannya. Jika sebagai akibat kejadian tak disangka itu, barang yang
dimaksudkan dalam perjanjian telah musnah maka pelaksanaan perjanjian sudah
jelas tidak dapat dituntut untuk seterusnya.
Akan
tetapi jika barang masih ada atau masih utuh pula, menurut pendapat yang lazim
dianut dalam pelaksanaan perjanjian : Penyerahan masih dapat dituntut oleh
kreditor, manakala keadaan memaksa sudah berakhir. Hanya jelas saja kreditur
tidak boleh menuntut pembayaran kerugian, karena tidak ada kesalahan pada pihak
debitur.
5.
Contoh
Kasus Keadaan Memaksa
1.
Contoh
Kasus 1
Tidak
ada lagi kemungkinan-kemungkinan/alternatif lain yang legal atau tidak
melanggar peraturan bagi pihak yang terkena force majeure untuk memenuhi perjanjian
(Putusan MA RI No. Reg. 24 K/Sip/1958).
Dalam
perkara Super Radio Company NV melawan Oey Tjoeng Tjoeng, baik PN maupun PT
menyatakan bahwa apa yang dikemukakan oleh tergugat Super Radio Company NV
tidak dapat dipergunakan sebagai alasan force majeure, karena apabila tergugat
tidak bisa mendapatkan motor AJS dari NV Danau maka untuk memenuhi kewajibannya
terhadap penggugat, ia harus berusaha mendapatkan
sepeda motor itu dari NV Ratadjasa atau dengan jalan lain, asal tidak dengan
cara melanggar hukum. Baik PN maupun PT
menyatakan bahwa
tergugat
Super Radio Company NV telah melalaikan kewajibannya. Sebagai akibatnya, kepada
tergugat diwajibkan untuk menyerahkan sepeda motor AJS dengan menerima sisa
harga sepeda motor itu menurut penetapan jawatan yang bersangkutan. Di samping
itu, juga menghukum tergugat membayar uang paksa Rp.100,00 sehari untuk setiap
hari keterlambatan penyerahan sepeda motor itu. Pengadilan tingkat Kasasi
menguatkan putusan PN dan PT tersebut dengan menyatakan bahwa Super Radio Company
NV harus melaksanakan isi perjanjian berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Hal
ini sesuai dengan keinginan penggugat yang tidak menuntut ganti kerugian,
melainkan hanya pelaksanaan isi perjanjian. Mengenai besarnya jumlah uang paksa
terserah judex facti, dalam hal ini mengenai penghargaan tentang kenyataan, hal
mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan tingkat kasasi, oleh sebab
keberatan itu tidak mengenai hal pelaksanaan hukum atau kesalahan pelaksanaan
hukum sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 UU MA Indonesia.
2.
Contoh
Kasus II
Tidak
sanggup memenuhi tanggungannya karena rintangan yang tidak dapat
diatasi
(Putusan MA RI No. Reg. 15 K/Sip/1957). Putusan MA No. Reg. 15 K/Sip/1957
mengenai risiko dalam Perjanjian Sewa Beli menggambarkan hal tersebut. Kasus
posisinya adalah sebagai berikut.
Sebuah
toko mobil NV Handel Maatschappij L’auto menggugat seorang bernama G.G. Jordan
untuk membayar lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah
disewa beli olehnya. Mobil tersebut telah diambil oleh tentara Jepang ketika
tentara itu mendarat di Pulau Jawa Oktober 1944. Jordan berpendirian, ia sudah
tidak usah membayar cicilan yang tersisa karena mobil tersebut dapat dianggap
sudah musnah.
Pengadilan
Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951 membenarkan pendirian
Jordan atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu harus diartikan sebagai
suatu perjanjian sewa, dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Dalam
tingkat banding, putusan PN Surabaya tersebut dibatalkan oleh PT Surabaya,
dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956, atas pertimbangan bahwa
perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis perjanjian jual-beli.
Dalam
tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Jordan) ditolak
oleh Mahkamah Agung atas pertimbangan bahwa putusan PT Surabaya menurut isi
perjanjian sewa beli si penyewa beli juga harus menanggung risiko atas
hilangnya barang karena keadaan memaksa adalah suatu kenyataan.
3.
Contoh
Kasus III
Perintah
dari yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan
administratif
(Put MA RI No. Reg. 3389 K/Sip/1984).
Perkara
R.P. Adianto Notonindito, Direktur CV Shinta Rama sebagai penggugat
melawan
PT Tirta Santika sebagai tergugat. Kasus posisinya adalah sebagai berikut.
Penggugat
telah menandatangani Surat Perjanjian Sewa-menyewa Kapal
atau
Charter Partij dengan tergugat. Dalam Charter Partij itu disetujui bahwa
penggugat menyediakan sebuah kapal bernama OSAM TREK/BULK Carier/5.055 ton
berbendera Singapura klas N.K.K. untuk tergugat. Kapal tersebut dipergunakan
tergugat untuk mengangkut muatan berupa aspal curah sebanyak 4.800 ton dihitung
berdasarkan survei yang ditandatangani bersama antara Master dan Perusahaan
Aspal Negara dari Pelabuhan Buton
sekitar
tanggal 16-17 April 1982, dan tanggal dan tempat penyerahan kembali kapal oleh
tergugat dilakukan di Pelabuhan Tanjung Priok setelah usai bongkar muatan.
Dalam hal ini, telah disetujui oleh penggugat dan tergugatbahwa jumlah uang
tambang adalah Rp10.500,00 per ton FIOST/FREIGHT. Disetujui juga bahwa biaya
demmurage yang harus dibayarkan oleh tergugat kepada penggugat adalah sebesar
Rp2.000.000,00 setiap hari untuk kelebihan
pemakaian
kapal di luar 12 hari yang telah disepakati. Menurut Time Sheet yang
ditandatangani oleh kapten kapal OSAM TREK ternyata kapal OSAM TREK mengalami
demurrage selama 27 hari sehingga tergugat wajib membayar 27xRp2.000.000,00 =
Rp54.000.000,00 kepada penggugat sesuai Charter Partij. Penggugat dalam hal ini
telah melakukan teguran berkali-kali untuk menaati Charter Partij, tetapi
tergugat tidak menghiraukan. Menurut tergugat, alasan tidak memenuhi kewajiban
adalah force majeure berupa keluarnya Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara
yang berisi mengenai aturan lalu lintas barang dan bongkar muat. Dalam hal ini
tergugat harus menunggu waktu atau giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei
1983 sesuai Surat Direksi tersebut. Menurut tergugat, hal tersebut adalah Overmacht,
karena dia tidak dapat berbuat apa-apa, dalam arti dengan dikeluarkannya Surat Direksi
tersebut dia tidak dapat memenuhi prestasi yang telah diperjanjikan. Tergugat
mendasarkan pada Pasal 13 Charter Partij yang menyebutkan mengenai overmacht
selain ”act of God”, yang termasuk dalam pengertian itu adalah perintah dari
yang berkuasa, keputusan atau segala tindakan-tindakan administratif yang
menentukan atau mengikat atau suatu kejadian mendadak yang tidak dapat diatasi
oleh pihak-pihak yang tersebut dalam perjanjian ini. Surat Direksi Perusahaan
Aspal Negara merupakan suatu ketentuan atau tindakan administratif dari
penguasa setempat yang mengikat untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar
muat barang di pelabuhan sehingga tergugat berpendapat hal ini sebagai
overmacht.
Pengadilan Negeri dalam hal ini memutuskan tergugat
bersalah melanggar surat perjanjian atau Charter Partij tanggal 6 April 1982
antara penggugat dan tergugat, dan menghukum tergugat untuk membayar secara
tunai kepada penggugat jumlah uang demmurage sebesar Rp54.000.000,00
ditambahbunga sebesar 2% per bulan dihitung mulai tanggal 6 Juni 1982 hingga
lunas pembayaran.
Berkaitan dengan kasus tersebut, Pengadilan Tinggi
telah memutuskan
membatalkan
putusan Pengadilan Negeri. Alasan atau pertimbangan hakim adalah bahwa walaupun
sudah ada Notice of Readiness, yang berarti siap untuk pemuatan, pemuatan tentu
harus mengikuti urutan dari penguasa setempat. Ternyata, menurut bukti T-5 yang
dibuat oleh Direksi Perusahaan Aspal Negara, NV OSAM TREK tidak dapat langsung
muat, tapi harus menunggu sampai giliran muat tiba, yaitu tanggal 17-19 Mei
1983.
Menurut Hakim PT, menunggu sampai giliran muat tiba
adalah suatu fakta yang tidak dapat diatasi oleh tergugat karena fakta ini
adalah suatu ketentuan atau tindakan administrasi dari penguasa setempat yang
mengikat untuk mengatur lalu lintas barang atau bongkar muat di pelabuhan. Hal
ini merupakan suatu kondisi yangbersifat
force majeure.
MA telah membatalkan putusan judex facti karena
menilai Pengadilan Tinggi
telah
salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan bahwa dasar hukum perjanjian antara
penggugat dan tergugat adalah Charter Partij yang telah memuat antara lain
jumlah hari bongkar muat barang dari kapal adalah dua belas hari. Apabila lebih
dari dua belas hari tergugat akan dikenakan biaya demmurage sebesar Rp2.000.000,00
untuk satu hari kapal menunggu. Hari tersebut dihitung sejak kapal tiba dalam
keadaan siap menerima muatan barang yang dinyatakan dalam ”Notice of Readiness
(NOR)”. NOR tersebut telah disetujui oleh charterer, ini berarti pada saat itu
kapal telah siap menerima muatan. Charterer dalam hal ini telah lalai memenuhi
isi Charter Partij dan menurut Time Sheet telah terjadi demmurage selama 27
hari. Sebagai catatan, NOR dibuat berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata sehingga
Charter Partij mengikat para pihak sebagai hukum. Atas hal tersebut, MA
berpendapat bahwa force majeure yang dikemukakan oleh tergugat berupa terbitnya
Surat Direksi Perusahaan Aspal Negara adalah keliru karena Direksi bukan
penguasa melainkan pihak yang berkontrak.
Dengan
demikian, menurut MA, alasan yang dikemukakan oleh tergugat tentang adanya
force majeure untuk membebaskan tergugat mengganti kerugian tidak berdasarkan
hukum.
Kesimpulan
Keadaan
memaksa/Force Majeure/Overmacht adalah keadaan tidak dipenuhiny prestasi oleh
debitor karena terjadi peristiwa yang tidak dapat diketahui atau tidak dapat
diduga akan terjadi ketika membuat perikatan
Terdapat dua teori mengenai force majeure yaitu teori absolut dan
teori relatif. Menurut teori absolut, debitur berada dalam keadaan memaksa,
apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur impossibilitas) dilaksanakan
oleh siapapun juga atau oleh setiap orang, sedangkan menurut teori relatif
keadaan memaksa itu ada, apabila debitur masih mungkin melaksanakan prestasi,
tetapi dengan kesukaran atau pengorbanan yang besar.
Kemudian,
keadaan memaksa (overmacht) menjadi 2 macam, yaitu :
a) Keadaan
memaksa objektif.
b) Keadaan
memaksa subjektif atau relatif
Keadaan
memaksa objektif (Vollmar menyebutnya Absolute Overmacht). Dasarnya adalah
ketidakmungkinan memenuhi prestasi karena bendanya lenyap atau musnah.
Kemudian
keadaan memaksa subjektif (Vollmar
menyebutnya relatieve overmacht). Dasarnya adalah kesulitan memenuhi prestasi
karena adanya peristiwa yang menghalangi debitor untuk berbuat.
Force majeure
harus terjadi setelah dibuatnya persetujuan, jika pelaksanaannya
sejak dibuatnya persetujuan maka persetujuan tersebut batal demi hukum.
Terjadinya force majeure tidak
menutup kemungkinan disebabkan karena kelalaian dari debitur. Akibat dari
kelalaiannya sehingga menyebabkan force
majeure maka debitur tidak
dapat melaksanakan kewajibannya sesuai dengan apa yang telah diperjanjikan dan
debitur harus mengganti kerugian yang terjadi jika masih memungkinkan.
[2] H.F.A. Vollmar, Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar