KHITBAH
A. PENGERTIAN
DAN HUKUM KHITBAH
Perkawinan
dalam Islam dilaksanakan atas dasar suka sama suka dan atas dasar kerelaan
bukan paksaan. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah untuk selama hidup, bukan
untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut Islam mengatur adanya
khitbah/peminangan sebelum pelaksanaan nikah, yaitu seorang
ikhwan menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya.
Boleh
dibilang khitbah merupakan jenjang yang memisahkan antara pemberitahuan
persetujuan seorang gadis yang sedang dipinang oleh seorang pemuda dan
pernikahannya. Keduanya sepakat untuk menikah, namun ini hanya sekedar janji
untuk menikah yang tidak mengandung akad nikah. Seperti yang disebutkan dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 13 ayat (1) “Pinangan belum menimbulkan
akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan”.[1]
Secara
bahasa khitbah artinya lamaran atau pinangan.[2]
Secara Istilah Khitbah artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang
yang dipercayai.[3]
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah, memberikan
definisi meminang sebagai berikut :
طلبها للزواج با لواسيلة المعروفة
الناس
“Meminang
artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi
isterinya dengan cara-cara yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.”
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut Khitbah, artinya
permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang
laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh
laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang dipercayainya
sesuai dengan keetentuan-ketentuan agama[4].
Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 11 “Peminangan dapat langsung dilakukan
oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan
oleh perantara yang dapat dipercaya.”[5]
Meminang bukan syarat sah suatu
pernikahan. Apabila pernikahan berlangsung tanpa didahului pinangan, maka oleh
manusia dijadikan sebagai sarana menuju pernikahan. Namun, mayoritas ulama
mengatakan, khitbah (pinangan) merupakan syariat bagi orang yang hendak
menikah.
Adapun hadits yang menyebutkan anjuran melaksanakan
khitbah serta dijadikan dasar bagi ulama dalam menentukan hukum khitbah yaitu:
عن
جابر قال قال
رسول الله صلي
الله عليه وسلم
اذا خطب احدكم
المراة فان استطاع
ان ينظر الي
ما يدعوه الي
نكاحها فليفعل ) رواه
ابوا داود (
“Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang dari kalian meminang seorang wanita, maka bila dia mampu (mendapat kesempatan untuk) melihat apa yang menarik hatinya untuk dapat mengawininya, dia harus melakukan itu.”
(H.R. Abu Daud)
Adapun dalam sebuah riwayat Al-Bukhari
dalam kitab Shahih Bukhori, dari hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra. Ia
menuturkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata : “ Wahai
Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah
melihat ke arah wanita tersebut dengan seksama dari atas sampai bawah. Kemudian
kepala beliau menunduk. Setelah wanita itu mengetahui bahwa Rasulullah tidak
berkenan dengannya, ia pun tunduk.
Maka
seorang pria dari kalangan sahabat Nabi berdiri, “Wahai Rasulullah, kalau
engkau tidak berkenan dengannya , tolong nikahkanlah aku kepadanya.”Beliau
bersabda : apa-apaan engkau memiliki sesuatu?” “Demi Allah, tidak, wahai
Rasulullah!” Rasulullah SAW pun bersabda kepadanya, “ Carilah, meskipun itu
hanya sebuah cincin dari besi.”
Pria
itu lalu pergi. Tidak lama ia kembali lagi dan berkata, “ Wahai Rasulullah,
demi Allah, aku tidak menemukan apa-apa, meskipun itu hanya sebuah cincin dari
besi.” “apa yang kamu bisa didalam Al-Quran?” tanya beliau. “aku mampu membaca
surat ini dan surat ini, “jawab pria itu. “ apakah kamu membacanya diluar
kepala?”tanya beliau lagi. “Ya,”jawab pria itu singkat. Akhirnya beliau
bersabda,”pergilah, aku telah menikahkan kamu kepadanya dengan mahar hafalan
Al-Quran yang kamu kuasai[6].
Pendapat yang dapat dijadikan dalil dari
hadits diatas adalah, bahwa Nabi SAW. menikahkan pria itu kepada seorang wanita
tanpa melalui pinangan (Khitbah). Dengan demikian, pendapat yang
mengatakan bahwa pinangan adalah mubah dapat dibenarkan.
Adapun praktik yang dilakukan oleh
beliau saat meminang Aisyah, sebagaimana hadits riwayat Al-BukhAri dari Urwah
bin Az-Zubair, bahwa Nabi SAW. Meminang Aisyah kepada Abu Bakar. Ketika itu,
Abu Bakar berkata, “Aku adalah saudara
engkau.” Nabi menjawab,”Anda adalah
saudaraku seagama dengan sekitab. Sekarang Aisyah halal bagiku.”[7] Begitu
pula hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dalam kitabnya Shahih
Al-Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. Meminang Hafshah.[8]
Hadits diatas, kendati menunjukan bahwa
pinangan merupakan suatu kesunahan (anjuran), hanya saja hadits tentang wanita
yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah SAW. Telah menjadikan hukum pinangan
dari sunah menjadi mubah (boleh).
Dalam kitab Raudhah At-Thalibin dikatakan
bahwa tidak ada seorang pun ulama yang menghukumi pinangan sebagai suatu
kewajiban. Memang Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pinangan adalah sunnah,
tetapi Imam An-Nawawi menegaskan, “Pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i
menghukuminya sebagai suatu kebolehan[9].
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan
bahwa mayorutas ulama berpendapat bahwa pinangan (Khitbah) hukumnya
adalah mubah (suatu kebolehan) bukan wajib atau sunnah.[10].
B. LAFAL
KHITBAH
Dalam
melakukan khitbah tidak terdapat keterangan tertentu tentang bagaimana lafal
khitbah, malah penetapan lafal tertentu bisa tergolong bid’ah.
Namun
ada beberapa macam cara peminangan, diantaranya:
Secara
langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang seperti
ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu”.
Secara
tidak langsung (ta’rif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus
terang atau dengan istilah Kinayah.
Denngan perngertian lain, ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti
ucapan. “tidak ada orang yang tidak sepertimu”
Firman
Allah SWT.,
وَلَا جُنَاحَ
عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ ......( البقرة : 235(
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran.... (Q.S. Al- Baqarah : 235)[11]
Adapun sindiran selain ini yang dipahami oleh
wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua
diperbolehkan asal sesuai syari’at.
Adapun
peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, adalah yang dilakukan oleh
sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf yang mengkhitbah Ummu Hakim Qarizh.
“Abdurrahman bin ‘Auf berkata
kepada Ummu Hakim Binti Qarizh: ”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia
menjawab “Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Kalau begitu,
baiklah kamu saya nikahi.” (HR. Bukhari)
C. BATASAN
AURAT DALAM KHITBAH
Meskipun wajah dan kedua tangan hingga pergelangan
bukan termasuk aurat, namun yang lebih dianjurkan bagi laki-laki agar menahan
atau membatasi pandangannya kepada wanita yang bukan mahramnya. Allah SWT
berfirman:
قُل لِلْمُؤْمِنِينَ
يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Katakanlah kepada orang-orang yang
beriman bahwa haruslah mereka menahan pandangannya. (QS. An-Nur : 30) [12]
Namun
dalam konteks seseorang ingin menikah, maka memandang yang seharusnya dihindari
justru malah disyariatkan.Tujuannya adalah agar mengetahui keadaan wanita yang
akan dikhitbah agar tidak ada alasan untuk menceraikan istri dengan alasan
tersebut (misalnya cacat dls).
إِلَيْهَا فَانْظُرْ اِذْهَبْ:قَالَ.لا:
قَالَ ؟ لَيْهَا إِأَنَظَرْتَ:رَأَةًاِمْ تَزَوَّجَ لِرَجُلٍ قَالَ اَلنَّبِيَّ أَنَّ هُرَيْرَةَ أَبِي عَنْ
Didalam Kitab Bulughul Maram dijelaskan, Dari Abu
Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang
laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang
perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat
wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi
dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu
yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)[13].
Disunnahkan
melihat wajah yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang mendorong si
muslim untuk menikahi wanita itu. Rasulullah SAW Bersabda:
فَلْيَفْعَلْ نِكَاحِهَا إِلَى يَدْعُوهُ مَا مِنْهَا يَنْظُرَ أَنْ عَ اِسْتَطَا فَإِنْ الْمَرْأَةَ أَحَدُكُمُ خَطَبَ إِذَا
“Jika
seseorang di antara kalian meminang seorang wanita apabila dia bisa melihat
apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”[14]
Al-Mughirah
bin Syu’bah r.a pernah meminang seorang wanita, maka Nabi berkata kepadanya:
بَيْنَكُمَا يُؤْدَمَ أَنْ أَحْرَى فَإِنَّهُ إِلَيْهَا،أُنْظُرْ
“lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan
cinta kasih antar kalian berdua.”[15]
Tentang
batasan aurat wanita yang dikhitbah, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di
kalangan ulama. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua
telapak tangan yaitu melihat rambut, betis, dan selainnya. Namun yang
disepakati ialah muka dan kedua tangannya. Rasulullah Saw bersabda:
“Apabila
salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan
atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk
mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu ataupun tidak.”
(H.R Ahmad)
D. WANITA
YANG HALAL DAN HARAM DI KHITBAH
1.
Wanita yang
halal dikhitbah
Khitbah
yang halal adalah khitbah kepada wanita yang hidup single atau melajang, yaitu
para perawan yang belum pernah menikah sebelumnya.
Kalaupun
pernah bersuami, asalkan yang sudah bercerai dengan suaminya atau suaminya
telah wafat. Tentunya khitbah baru boleh dilakukan apabila wanita itu telah
habis masa iddahnya. Seperti disebutkan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam)
Pasal 12 ayat (1) bahwa “Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita
yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.”[16]
2.
Wanita yang
haram dikhitbah
Khitbah
yang diharamkan adalah khitbah yang diajukan kepada wanita yang tidak boleh
dikhitbah, diantaranya:
a.
yang masih
mahramnya sendiri,
b.
khitbah kepada
wanita yang masih bersuami,
c.
khitbah kepada
wanita yang sudah tidak bersuami namun masih dalam masa iddah. KHI (Kompilasi
Hukum Islam) Pasal 12 ayat (2) “Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam
masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.”[17]
d.
khitbah kepada
wanita yang sedang dikhitbah orang lain,
Ibnu
Umar r.a menuturkan:
Nabi
SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli)
saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai
orang yang meminang itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”[18]
KHI (kompilasi Hukum
Islam) Pasal 12 ayat (3) “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang
dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dan pihak wanita.”[19]
e.
dan khitbah yang
dilakukan pada saat menjalankan ihram.
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Dari
Utsman bin Al-Affan r.a yang diriwayatkan secara marfu’, “Janganlah orang yang sedang berihram menikahkan orang atau menikah
untuk dirinya sendiri, dan jangan pula melakukan khitbah”. (HR. Muslim)
E. KEABSAHAN
MENGKHITBAH WANITA YANG TELAH DIKHITBAH ORANGLAIN
Tidak
boleh mengkhitbah seorang wanita yang telah dikhitbah lelaki lain, kecuali
apabila telah jelas khitbah/lamarannya itu telah dibatalkan. Dalam hal ini
maksudnya adalah ketika seorang wanita dikhitbah seorang lelaki, dan si wanita
menerima lamarannya, maka lelaki lain tidak boleh melamarnya, kecuali apabila
lamaran yang pertama dibatalkan oleh salahsatu pihak. Kecuali apabila seorang
lelaki melamar seorang wanita, namun si wanita belum menerima lamaran itu
(masih memikirkan), maka lelaki lain boleh maju melamarnya.
Ibnu
Umar r.a menuturkan:
حَتَّى ، أَخِيْهِ خِطْبَةِ عَلَى الرَّجُلُ يَخْطُبَ وَلاَ بَعْضٍ، بَيْعِ عَلَى بَعْضُكُمْ يَبِيْعَ أَنْ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيُّ نَهَى الْخَاطِبُ لَهُ أْذَنَ أَيَوْ قَبْلَهُ الْخَاطِبُ يَتْرُكَ
“Nabi SAW melarang seseorang membeli barang
yang sedang ditawar (untuk dibeli) saudaranya, dan melarang seseorang meminang
wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminang itu meninggalkannya atau
mengizinkannya.”[20]
Dari
“Abdurrahman bin Syamasah bahwa dia mendengar Uqbah bin Amir berdiri di atas
mimbar seraya berucap: Rasulullah SAW bersabda:
“Mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh
karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya
dan tidk pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.”[21]
Dari Hadits di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa mengkhitbah/meminang wanita yang telah dikhitbah orang lain
adalah haram.
F. ANTARA
TUNANGAN DAN KHITBAH
Khitbah
ini berbeda dengan pertunangan. Dalam Islam tidak ada yang namanya tunangan,
yang dianjurkan dalam Islam setelah ta’aruf adalah khitbah. didalam bertunangan
identik dengan bertukar cincin, namun dalam khitbah bertukar cincin hukumnya
mubah. Jadi bukan suatu kewajiban. Namun, apabila hendak memebrikan cincin pada
si calon, niatkan saja sebagai suatu hadiah. Karena bila memberikan cincin tapi
niatnya salah, yang jelas dilarang. Seperti :
1.
Ikut-ikutan tren
kaum non-muslim, hal ini menyerupai kebiasaan mereka.
Rasulullah SAW.,
bersabda: “Siapa yang meneyrupai suatu kaum,
maka dia termasuk bagian dari merka.” (H.R Abu Dawud)
2.
Meyakini bahwa
dengan bertukar cincin bisa menumbuhkan cinta dan keharmonisan hubunganm maka
hal itu bisa dikategorikan keyakinan jahiliyah.
3.
Cincin untuk
pihak laki-laki tidak terbuat dari emas, karena laki laki diharamkan memakai
emas.
“Dua perkara ini (emas dan sutra) haram bagi laki-laki umatku.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu
Majah)
4.
Pihak laki-laki
sengaja memakaikan cincin kepada si wanita yang belum halal.
Aisyah berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah
menyentuh tangan perempuan (asing), sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)[22]
G. ADAB
SETELAH KHITBAH
1.
Tidak boleh
berdua-duan (berkhalwat). Kecuali ditemani mahram.
“Tidak
boleh berdua-duan laki-laki dan perempuan kecuali perempuan itu disertai
mahram. Seorang perempuan tidak boleh bepergian, kecuali disertai mahram.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
2.
Tidak boleh
menyentuh perempuan yang sudah dikhitbah walau hanya bersalaman.
“Aisyah berkata, “Demi
Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan (asing), sama
sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Menghindari
hal-hal yang bisa menjadi pintu masuk setan, seperti senda gurau dan komunikasi
yang terlalu intensif.
“Tidaklah
salahsatu diantara kalian berduaan (khalwat) dengan perempuan. Sesungguhnya
setan ketiganya.” (HR. Ahmad)[23]
Diusahakan
jarak antara khitbah dan akad pernikahan tidak terlalu lama
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an
al Karim
Ahmad bin
Abdul Aziz. Zawaj Mubarak (Risalah Nikah). (Jakarta: Darul Haq, 2013).
Al-Asqolani,
Ibnu Hajar. Bulughul Maram. (Singapura: Haramain)
H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, cetakan ke 49, 2010.
KHI
(Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015
Muhamad
Fauzi, Abu Buraidah. Meminang Dalam Islam. (Jakarta Timur: Pustaka
Alkautsar,
2009)
Nur, Djaman.
Fiqih Munakahat. (Semarang : Dina Utama, 1993).
Pramudji R.
Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Rhedbook Publisher, cet 1,
2008).
Raudhah At-Thalibin, 2/30; Mughnil Muhtaj, 3/128
Rusyd,
Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II. (Beirut: Darul Fikri,
2005).
S.A.H
(Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016.
Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, Jakarta:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2011.
Zuhaili,
Wahbah. Fiqh Imam Syafi’I. (Jakarta Timur: Almahira, 2010).
[1] KHI (Kompilasi Hukum Islam),
Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[2] S.A.H (Sudahi atau Halakan);
@NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016. Hlm. 42
[5] KHI (Kompilasi Hukum Islam),
Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[10]
Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107
[14] Hadits shahih: HR. Ahmad
(III/334,360), Abu Dawud (no. 2082), dan al-Hakim (II/165) dari Jabir bin
Abdillah.
[15] Hadits shahih: HR. At-Timidzi
(no. 1087), an-Nasa’i (VI/69-70), al-Darimi (II/134), dan yang lainnya. Dishahihkan
oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[18] Hadits shahih: HR. AL-Bukhari
(no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[20] Hadits shahih: HR. AL-Bukhari
(no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik al-Bukhari.
Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!
BalasHapus