Kamis, 07 Desember 2017

KHITBAH DALAM ISLAM (Fiqh Munakahat)

 KHITBAH



A.    PENGERTIAN DAN HUKUM KHITBAH
Perkawinan dalam Islam dilaksanakan atas dasar suka sama suka dan atas dasar kerelaan bukan paksaan. Prinsip perkawinan dalam Islam adalah untuk selama hidup, bukan untuk sementara. Untuk mencapai prinsip tersebut Islam mengatur adanya khitbah/peminangan sebelum pelaksanaan nikah, yaitu seorang ikhwan menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya.
Boleh dibilang khitbah merupakan jenjang yang memisahkan antara pemberitahuan persetujuan seorang gadis yang sedang dipinang oleh seorang pemuda dan pernikahannya. Keduanya sepakat untuk menikah, namun ini hanya sekedar janji untuk menikah yang tidak mengandung akad nikah. Seperti yang disebutkan dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 13 ayat (1) “Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan”.[1]
Secara bahasa khitbah artinya lamaran atau pinangan.[2] Secara Istilah Khitbah artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang dipercayai.[3]
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqhus Sunnah, memberikan definisi meminang sebagai berikut :
طلبها للزواج با لواسيلة المعروفة الناس
“Meminang artinya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi isterinya dengan cara-cara yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat.”
Peminangan dalam ilmu fiqh disebut Khitbah, artinya permintaan. Menurut istilah artinya pernyataan atau permintaan dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk mengawininya, baik dilakukan oleh laki-laki itu secara langsung atau dengan perantara pihak yang dipercayainya sesuai dengan keetentuan-ketentuan agama[4]. Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 11 “Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.”[5]
Meminang bukan syarat sah suatu pernikahan. Apabila pernikahan berlangsung tanpa didahului pinangan, maka oleh manusia dijadikan sebagai sarana menuju pernikahan. Namun, mayoritas ulama mengatakan, khitbah (pinangan) merupakan syariat bagi orang yang hendak menikah.
Adapun hadits yang menyebutkan anjuran melaksanakan khitbah serta dijadikan dasar bagi ulama dalam menentukan hukum khitbah yaitu:
عن جابر قال قال رسول الله صلي الله عليه وسلم اذا خطب احدكم المراة فان استطاع ان ينظر الي ما يدعوه الي نكاحها فليفعل ) رواه ابوا داود (

“Jabir berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang dari kalian meminang seorang wanita, maka bila dia mampu (mendapat kesempatan untuk) melihat apa yang menarik hatinya untuk dapat mengawininya, dia harus melakukan itu.” 
(H.R. Abu Daud)
Adapun dalam sebuah riwayat Al-Bukhari dalam kitab Shahih Bukhori, dari hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi ra. Ia menuturkan bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah SAW. Ia berkata : “ Wahai Rasulullah, aku datang untuk memberikan diriku kepadamu.” Maka Rasulullah melihat ke arah wanita tersebut dengan seksama dari atas sampai bawah. Kemudian kepala beliau menunduk. Setelah wanita itu mengetahui bahwa Rasulullah tidak berkenan dengannya, ia pun tunduk.
Maka seorang pria dari kalangan sahabat Nabi berdiri, “Wahai Rasulullah, kalau engkau tidak berkenan dengannya , tolong nikahkanlah aku kepadanya.”Beliau bersabda : apa-apaan engkau memiliki sesuatu?” “Demi Allah, tidak, wahai Rasulullah!” Rasulullah SAW pun bersabda kepadanya, “ Carilah, meskipun itu hanya sebuah cincin dari besi.”
Pria itu lalu pergi. Tidak lama ia kembali lagi dan berkata, “ Wahai Rasulullah, demi Allah, aku tidak menemukan apa-apa, meskipun itu hanya sebuah cincin dari besi.” “apa yang kamu bisa didalam Al-Quran?” tanya beliau. “aku mampu membaca surat ini dan surat ini, “jawab pria itu. “ apakah kamu membacanya diluar kepala?”tanya beliau lagi. “Ya,”jawab pria itu singkat. Akhirnya beliau bersabda,”pergilah, aku telah menikahkan kamu kepadanya dengan mahar hafalan Al-Quran yang kamu kuasai[6].
Pendapat yang dapat dijadikan dalil dari hadits diatas adalah, bahwa Nabi SAW. menikahkan pria itu kepada seorang wanita tanpa melalui pinangan (Khitbah). Dengan demikian, pendapat yang mengatakan bahwa pinangan adalah mubah dapat dibenarkan.
Adapun praktik yang dilakukan oleh beliau saat meminang Aisyah, sebagaimana hadits riwayat Al-BukhAri dari Urwah bin Az-Zubair, bahwa Nabi SAW. Meminang Aisyah kepada Abu Bakar. Ketika itu, Abu Bakar berkata, “Aku adalah saudara engkau.” Nabi menjawab,”Anda adalah saudaraku seagama dengan sekitab. Sekarang Aisyah halal bagiku.”[7] Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori dalam kitabnya Shahih Al-Bukhori, bahwa Rasulullah SAW. Meminang Hafshah.[8]
Hadits diatas, kendati menunjukan bahwa pinangan merupakan suatu kesunahan (anjuran), hanya saja hadits tentang wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah SAW. Telah menjadikan hukum pinangan dari sunah menjadi mubah (boleh).
Dalam kitab Raudhah At-Thalibin dikatakan bahwa tidak ada seorang pun ulama yang menghukumi pinangan sebagai suatu kewajiban. Memang Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pinangan adalah sunnah, tetapi Imam An-Nawawi menegaskan, “Pendapat dalam madzhab Asy-Syafi’i menghukuminya sebagai suatu kebolehan[9].
Dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa mayorutas ulama berpendapat bahwa pinangan (Khitbah) hukumnya adalah mubah (suatu kebolehan) bukan wajib atau sunnah.[10].
B.     LAFAL KHITBAH
Dalam melakukan khitbah tidak terdapat keterangan tertentu tentang bagaimana lafal khitbah, malah penetapan lafal tertentu bisa tergolong bid’ah.
Namun ada beberapa macam cara peminangan, diantaranya:
Secara langsung, yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu”.
Secara tidak langsung (ta’rif), yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah Kinayah. Denngan perngertian lain, ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti ucapan. “tidak ada orang yang tidak sepertimu”
Firman Allah SWT.,
وَلَا جُنَاحَ عَلَيۡكُمۡ فِيمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَآءِ ......( البقرة : 235(
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran.... (Q.S. Al- Baqarah : 235)[11]
Adapun sindiran selain ini yang dipahami oleh wanita bahwa laki-laki tersebut berkeinginan menikah dengannya, maka semua diperbolehkan asal sesuai syari’at.
Adapun peristiwa yang terjadi pada masa Rasulullah SAW, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman bin ‘Auf yang mengkhitbah Ummu Hakim Qarizh.
“Abdurrahman bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh: ”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab “Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman bin ‘Auf berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR. Bukhari)

C.     BATASAN AURAT DALAM KHITBAH
Meskipun wajah dan kedua tangan hingga pergelangan bukan termasuk aurat, namun yang lebih dianjurkan bagi laki-laki agar menahan atau membatasi pandangannya kepada wanita yang bukan mahramnya. Allah SWT berfirman:
قُل لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
Katakanlah kepada orang-orang yang beriman bahwa haruslah mereka menahan pandangannya. (QS. An-Nur : 30) [12]
Namun dalam konteks seseorang ingin menikah, maka memandang yang seharusnya dihindari justru malah disyariatkan.Tujuannya adalah agar mengetahui keadaan wanita yang akan dikhitbah agar tidak ada alasan untuk menceraikan istri dengan alasan tersebut (misalnya cacat dls).
إِلَيْهَا فَانْظُرْ اِذْهَبْ:قَالَ.لا: قَالَ ؟ لَيْهَا إِأَنَظَرْتَ:رَأَةًاِمْ تَزَوَّجَ لِرَجُلٍ قَالَ اَلنَّبِيَّ أَنَّ هُرَيْرَةَ أَبِي عَنْ
Didalam Kitab Bulughul Maram dijelaskan, Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata,” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar. Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i)[13].
Disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang dan boleh melihat apa-apa yang mendorong si muslim untuk menikahi wanita itu. Rasulullah SAW Bersabda:
فَلْيَفْعَلْ نِكَاحِهَا إِلَى يَدْعُوهُ مَا مِنْهَا يَنْظُرَ أَنْ عَ اِسْتَطَا فَإِنْ الْمَرْأَةَ أَحَدُكُمُ خَطَبَ إِذَا
“Jika seseorang di antara kalian meminang seorang wanita apabila dia bisa melihat apa-apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya maka lakukanlah!”[14]
Al-Mughirah bin Syu’bah r.a pernah meminang seorang wanita, maka Nabi berkata kepadanya:
بَيْنَكُمَا يُؤْدَمَ أَنْ أَحْرَى فَإِنَّهُ إِلَيْهَا،أُنْظُرْ
lihatlah wanita tersebut, sebab hal itu lebih patut untuk melanggengkan cinta kasih antar kalian berdua.”[15]
Tentang batasan aurat wanita yang dikhitbah, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) di kalangan ulama. Ada yang berpendapat boleh melihat selain muka dan kedua telapak tangan yaitu melihat rambut, betis, dan selainnya. Namun yang disepakati ialah muka dan kedua tangannya. Rasulullah Saw bersabda:
 “Apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, maka tidak berhalangan atasnya untuk melihat perempuan itu, asal saja melihatnya semata-mata untuk mencari perjodohan, baik diketahui oleh perempuan itu ataupun tidak.”
(H.R Ahmad)

D.    WANITA YANG HALAL DAN HARAM DI KHITBAH
1.         Wanita yang halal dikhitbah
Khitbah yang halal adalah khitbah kepada wanita yang hidup single atau melajang, yaitu para perawan yang belum pernah menikah sebelumnya.
Kalaupun pernah bersuami, asalkan yang sudah bercerai dengan suaminya atau suaminya telah wafat. Tentunya khitbah baru boleh dilakukan apabila wanita itu telah habis masa iddahnya. Seperti disebutkan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (1) bahwa “Peminangan dapat dilakukan terhadap seotrangwanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.”[16]
2.         Wanita yang haram dikhitbah
Khitbah yang diharamkan adalah khitbah yang diajukan kepada wanita yang tidak boleh dikhitbah, diantaranya:
a.    yang masih mahramnya sendiri,
b.    khitbah kepada wanita yang masih bersuami,
c.    khitbah kepada wanita yang sudah tidak bersuami namun masih dalam masa iddah. KHI (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (2) “Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.”[17]
d.   khitbah kepada wanita yang sedang dikhitbah orang lain,
Ibnu Umar r.a menuturkan:
Nabi SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminang itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”[18]
KHI (kompilasi Hukum Islam) Pasal 12 ayat (3) “Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.”[19]
e.    dan khitbah yang dilakukan pada saat menjalankan ihram.
لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ
Dari Utsman bin Al-Affan r.a yang diriwayatkan secara marfu’, “Janganlah orang yang sedang berihram menikahkan orang atau menikah untuk dirinya sendiri, dan jangan pula melakukan khitbah”. (HR. Muslim)

E.     KEABSAHAN MENGKHITBAH WANITA YANG TELAH DIKHITBAH ORANGLAIN
Tidak boleh mengkhitbah seorang wanita yang telah dikhitbah lelaki lain, kecuali apabila telah jelas khitbah/lamarannya itu telah dibatalkan. Dalam hal ini maksudnya adalah ketika seorang wanita dikhitbah seorang lelaki, dan si wanita menerima lamarannya, maka lelaki lain tidak boleh melamarnya, kecuali apabila lamaran yang pertama dibatalkan oleh salahsatu pihak. Kecuali apabila seorang lelaki melamar seorang wanita, namun si wanita belum menerima lamaran itu (masih memikirkan), maka lelaki lain boleh maju melamarnya.
Ibnu Umar r.a menuturkan:

حَتَّى ، أَخِيْهِ خِطْبَةِ عَلَى الرَّجُلُ يَخْطُبَ وَلاَ بَعْضٍ، بَيْعِ عَلَى بَعْضُكُمْ يَبِيْعَ أَنْ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللهُ صَلَّى النَّبِيُّ نَهَى الْخَاطِبُ لَهُ أْذَنَ أَيَوْ قَبْلَهُ الْخَاطِبُ يَتْرُكَ
Nabi SAW melarang seseorang membeli barang yang sedang ditawar (untuk dibeli) saudaranya, dan melarang seseorang meminang wanita yang telah dipinang sampai orang yang meminang itu meninggalkannya atau mengizinkannya.”[20]
 Dari “Abdurrahman bin Syamasah bahwa dia mendengar Uqbah bin Amir berdiri di atas mimbar seraya berucap: Rasulullah SAW bersabda:
 “Mukmin itu saudara bagi mukmin lainnya. Oleh karena itu tidak halal bagi seorang mukmin membeli atas pembelian saudaranya dan tidk pula meminang atas pinangan saudaranya hingga dia meninggalkannya.[21]
Dari Hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mengkhitbah/meminang wanita yang telah dikhitbah orang lain adalah haram.
F.      ANTARA TUNANGAN DAN KHITBAH
Khitbah ini berbeda dengan pertunangan. Dalam Islam tidak ada yang namanya tunangan, yang dianjurkan dalam Islam setelah ta’aruf adalah khitbah. didalam bertunangan identik dengan bertukar cincin, namun dalam khitbah bertukar cincin hukumnya mubah. Jadi bukan suatu kewajiban. Namun, apabila hendak memebrikan cincin pada si calon, niatkan saja sebagai suatu hadiah. Karena bila memberikan cincin tapi niatnya salah, yang jelas dilarang. Seperti :
1.         Ikut-ikutan tren kaum non-muslim, hal ini menyerupai kebiasaan mereka.
Rasulullah SAW., bersabda: “Siapa yang meneyrupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari merka.” (H.R Abu Dawud)
2.         Meyakini bahwa dengan bertukar cincin bisa menumbuhkan cinta dan keharmonisan hubunganm maka hal itu bisa dikategorikan keyakinan jahiliyah.
3.         Cincin untuk pihak laki-laki tidak terbuat dari emas, karena laki laki diharamkan memakai emas.
Dua perkara ini (emas dan sutra) haram bagi laki-laki umatku.”
(HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
4.         Pihak laki-laki sengaja memakaikan cincin kepada si wanita yang belum halal.
Aisyah berkata: “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan (asing), sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)[22]

G.    ADAB SETELAH KHITBAH
1.         Tidak boleh berdua-duan (berkhalwat). Kecuali ditemani mahram.
“Tidak boleh berdua-duan laki-laki dan perempuan kecuali perempuan itu disertai mahram. Seorang perempuan tidak boleh bepergian, kecuali disertai mahram.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2.         Tidak boleh menyentuh perempuan yang sudah dikhitbah walau hanya bersalaman.
“Aisyah berkata, “Demi Allah, tangan Rasulullah tidak pernah menyentuh tangan perempuan (asing), sama sekali.” (HR. Bukhari dan Muslim)
3.         Menghindari hal-hal yang bisa menjadi pintu masuk setan, seperti senda gurau dan komunikasi yang terlalu intensif.
“Tidaklah salahsatu diantara kalian berduaan (khalwat) dengan perempuan. Sesungguhnya setan ketiganya.” (HR. Ahmad)[23]
Diusahakan jarak antara khitbah dan akad pernikahan tidak terlalu lama



























DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al Karim
Ahmad bin Abdul Aziz. Zawaj Mubarak (Risalah Nikah). (Jakarta: Darul Haq, 2013).
Al-Asqolani, Ibnu Hajar. Bulughul Maram. (Singapura: Haramain)
H.  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cetakan ke 49, 2010.
KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015
Muhamad Fauzi, Abu Buraidah. Meminang Dalam Islam. (Jakarta Timur: Pustaka
Alkautsar, 2009)
Nur, Djaman. Fiqih Munakahat. (Semarang : Dina Utama, 1993).
Pramudji R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Rhedbook Publisher, cet 1, 2008).
Raudhah At-Thalibin, 2/30; Mughnil Muhtaj, 3/128
Rusyd,  Ibnu. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid II. (Beirut: Darul Fikri, 2005).
S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016.
Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107
Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Panduan Keluarga Sakinah, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2011.
Zuhaili, Wahbah. Fiqh Imam Syafi’I. (Jakarta Timur: Almahira, 2010).






[1] KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[2] S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016. Hlm. 42
[3] H.  Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, cetakan ke 49, 2010. Hlm. 380
[4]  Djaman Nur, Fiqih Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993. Hlm. 13
[5] KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[6] Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5149), HR. Muslim, (no. 1425).
[7] Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5081).
[8] Hadits Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5122)
[9]  Raudhah At-Thalibin, 2/30; Mughnil Muhtaj, 3/128
[10] Shahih Fiqh As-Sunnah, 3/107
[11] AL-Qur’an al-Karim
[12] AL-Qur’an al-Karim
[13]  Ibnu Hajar al-Asqolani, Bulugul Maram, Haramain: Singapura. Hlm. 209-210.
[14] Hadits shahih: HR. Ahmad (III/334,360), Abu Dawud (no. 2082), dan al-Hakim (II/165) dari Jabir bin Abdillah.
[15] Hadits shahih: HR. At-Timidzi (no. 1087), an-Nasa’i (VI/69-70), al-Darimi (II/134), dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullaah dalam Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1511).
[16] KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[17] Ibid. Hlm 326.
[18] Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[19] KHI (Kompilasi Hukum Islam), Bandung: Citra Umbara, cetakan VI April 2015. Hlm. 326.
[20] Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5141) dan Muslim (no. 1412) dari Ibnu Umar. Lafazh ini milik al-Bukhari.
[21] Hadits shahih: HR. AL-Bukhari (no.5142).
[22] S.A.H (Sudahi atau Halakan); @NikahAsik, Jakarta: Wahyu Qolbu, 2016. Hlm. 43
[23] Ibid. Hlm. 49

1 komentar:

  1. Hi brides & grooms to be, lagi cari gedung utk acara pernikahan di Kota Bandung? Gedung HIS Balai Sartika Convention Hall bisa jadi pilihan kamu loh karena sekarang udh full carpet & lampu chandelier. Selain itu HIS Balai Sartika Convention Hall juga menyediakan paket pernikahan yang fleksibel dan pilihan vendornya ada banyak banget, bisa pilih sesuai keinginan kamu. Ohya, sekarang lagi ada promo menarik juga loh yaitu CASHBACK dan HONEYMOON PACKAGE! Untuk informasi lengkapnya, hubungin aja Tresna (+6281312214233), FREE KONSULTASI!!

    BalasHapus

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...