Kamis, 07 Desember 2017

MAHRAM DALAM ISLAM (Fiqh Munakahat)

MAHRAM (Fiqh Munakahat)



Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini berpasang-pasangan. Siang berpasangan dengan malam, negatif berpasangan dengan positif, jantan berpasangan dengan betina, laki-laki berpasangan dengan perempuan. Allah berfirman dalam surat Adz-dhariyat : 49 yang artinya, “Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” Akan tetapi berpasang-pasangan manusia laki-laki dengan perempuan berbeda cara dan aturannya dengan binatang dan benda-benda lainnya.
Tentang cara aturan berpasang-pasangan atau perjodohan antara laki-laki dengan perempuan, Allah tentukan dengan cara perkawinan islam dalam agama islam yang mempunyai syarat, rukun, dan batas-batasnya tersendiri. Dalam perkawinan islam yang termasuk dalam penjelasan batas-batasnya, salah satunya adalah Muhram/mahram nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi.
Mungkin di antara kita ada yang tidak mengetahui apa itu mahram dan siapa saja yang termasuk mahramnya. Padahal mahram ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahramnya. Tidak boleh seorang laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahramnya. Wanita dan pria tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahramnya. Dan masih banyak masalah lainnya.
Dalam hal ini, islam sebagai agama terakhir yang membawa syariat terakhir, maka islampun sudah memberikan rambu-rambu yang mengatur perkara ini, sehingga umat muslim merasa aman dan terpeliharalah dari mulai jiwa dan kehormatannya. Konsep mahram yang diatur oleh islam ini akan menjaga kemuliaan derajat wanita dan laki-laki, sehingga tidak mudah untuk bergaul dan berinteraksi antar sesama yang lain jenis.
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa mahram itu adalah yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan. Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh / tidak haram, selain bagian antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh keluar rumah, kecuali bersama dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah, kamus istilah fiqh, hal. 186).
Bahkan ada salah pengungkapan dimasyarakat dalam pengungkapan kata mahram ini. Ada yang mengatakan mahram dengan kata muhrim, padahal dua kata ini sangat berbeda dalam penggunaan dan dalam artinya. Muhrim digunakan untuk orang yang sedang berihram, sedangkan mahram adalah seseorang yang di haramkan untuk menikahinya.
Dengan penulisan makalah ini, semoga kita akan memahami siapa saja mahram kita dan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan kepada mahram, sehingga kita tidak salah dalam berucap mengatakan mahram dengan muhrim dan juga pelaksanaan dalam pergaulan sehari-hari, agar kita mampu menjaga sikap dan diri kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan dosa.



A.     Definisi Mahram
Maharam dalam ilmu fiqh kata mahram berasal dari bahasa arab yaitu mahram, mamilki arti sesuatu yang dilarang. Dalam fiqh istilah mahram ini digunakan untuk menyebut wanita yang haram dinikahi oleh pria. Selain istilah mahram terkadang juga ada sebutan muhrim. Sebenarnya arti dari muhrim adalah yang mengharamkan. Dalam hal ini yang dimaksud adalah suami karena suami ,karena suami menyebabkan seorang wanita haram dinikahi oleh pria lain.
Mahram adalah smua orang yang haram dinikahi  selamanya Karena sebab keturunan persusuan dan pernikahan dalam syariat islam.[1]

B.     Landasan Hukum Mahram
Dasar hukum mahram nikah adalah dalil al-quran yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 22-24  yaang artinya
Ayat 22 “ dan janganlah kamu kawini  wanita-wanita yang telah dikawini ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci allah dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”
Ayat 23 “ diharamkan atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu, yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu campur dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu) dan menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah terjadi pada masa lampau sesungguhna allah maha pengampun lagi  maha penyayang.”
Ayat 24 “ kamu miliki dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami kecuali budak yang allah tetapkan hukum itu sebagai ketetapannya atas kamu, dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina, maka istri-istri yang kamu nikmati diantara mereka briknlah kepada mereka  maharnya dengan sempurna sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang telah kamu saling merelakan sesudah menentukan mahar itu sesungguhnya allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”[2]

C.     Kelompok mahram Nasab (keturunan)
1.    Orangtua yakni , ibu, nenek, dan seterusnya hingga ke atas
2.    Keturunannya, yaitu anak perempuan, cucu perempuan, dan setrusnya sampai kebawah
3.    Keturunan kedua orangtua atau salahsatunya, yaitu saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu beserta anak perempuan mereka, cucu perempuan mereka dan setserusnya sampai kebawah.
4.    Keturunan langsung dari kakek atau nenek, yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
Sedangkan keturunan tidak langsung dari kakak atau nenek tidak tergolong mahram. Misalnya anak perempuan paman atau bibi.[3]

D.     Kelompok Mahram Rada’ah (persusuan)
Apabila terjadi Rada’ah (persusuan) yang memenuhi syarat, maka terjadilah hukum mahram, antara bayi dan ibu menyusui (murdhi’ah) dan keluarga dekat murdhi’ah sebagaimana mahram nya sebab nasab (kekerabatan).
Ibu yang menyusui (murdhi’ah) tidak ada hubungan mahran dengan keluarga bayi yang di susui hanya si bayi (radhi) yang ada hunbungan mahram dengan seluruh keluarga dekat ibu susuan (murdhi’ah)
Rincian sebagai berikut :
1.      Perempuan yang menyusui (murdhi’ah)
2.      Suami ibu susuan
3.      Ibu bapak dari murdhi’ah/ibu susuan
4.      Ibu bapak dari suam ibu susuan
5.      Adik beradik dari ibu susuan
6.      Adik beradik dari bapak susuan
7.      Anak-anak dari ibu dan bapak susuan
8.      Anak-anak dari ibu susuan
9.      Anak-anak dari bapak susuan


Sesusuan yang mengharamkan imam maliki beserta muridnya  beliau berpendapat bahwa pada hakekatnya tidak  ada batas tertentu dari sesusuan yang mengharamkan. Sesusuan yang mengharamkan ialah yang dilakukan dalam waktu tertentu jika ia baru menyusu sekali atau dua kali hal ini tidak menyebabkan haramnya kawin, karna bukan disebut menyusu dan pula tidak bisa mengenyangkan, sesuai dengan sabda rasulullah yang artinya “ tidak mengharamkan satu kali isapan dan tidak (pula )dua kali hisapan ” ( H.R Juma’ah kecuali Bukhari).
Berbeda dengan pendapat imam abu Hanifah ia berpendapat bahwa semua macam hisapan akan mengharamkan ahli dhahir memberi batas dengan tiga kali hisapan untuk kepastian hukum perlu ditetapkan jumlah hisapan bayi yang di susuinya yang menyebabkan larangan perkawinan. Dalam hal ii imam syafi’I menetapkan lima kali hisapan susuan yang mengharamkan berdasarkan hadist Nabi yang artinya “ dari Aisya R.A  ia berkata : dahulu diantara ( ayat-ayat ) al-qur’an yang diturunkan ( terdapat kata-kata)  sepuluh susunan kemudian kata tersebut dinasahkan dengan kata-kata lima kali hisapan yang diketahui, lalu rasulullah wafat, sedangkan kata-kata itu termasuk dalam Al- Qur’an yang dibaca ” (H.R Abu Daud dan An- Nasaai)
Air susu campuran , menurut hanafiah , air susu yang bercampur dengan benda atau cairan lain tidak mengharamkan sedangkan syafi’iah  dan sebagia pengikut malik mengharamkan.
Masa menyusui  para ahli fiqh sepakat menyusui seorang anak adalah dua tahun bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan susuan anaknya Allah berfirman yang artinya “  dan ibu-ibu yang menyusui anak-anaknya dua tahun penuh bagi siapa yang ingin menyempurnakan penyusuannya ” Q.S Al-Baqarah:233
Persaksian atas penyusuan para ahli fiqh sepakat bahwa diperlukan adanya saksi yang menyaksikan berbeda pendapat para ahli dalam hal penetapan jumlah minimum saksi yang diperlukaan karena persaksian penyusuan dapat disamakan dengan persaksian muamalat, maka jumlah saksi meminimum sama dengan persaksian muamalat berdasarkan firman Allah yang artinya  “dan persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki diantara kamu , jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan..” (Q.S Al-Baqarah : 282). Imam syafi’I membolehkan persaksian susuan itu dilakukan oleh empat orang perempuan  sebagai ganti dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.[4]



E.     Kelompok Mahram mushaharah (perkawinan)
1.    Istri orang tua, yakni istri ayah, istri kakek, dan seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau ditinggal wafat. Dengan kata lain, yang termasukmahram adalah ibu tiri, nenek tiri dan seterusnya sampai ke atas.
2.    Istri keturunan, yaitu istri anak, istri cucu,dan setersnya sampai ke bawah,baik yang sudah disetubuhi ataupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah dicerai atau ditinggal meninggal.
3.    Orang tua istri, yaitu ibunya, neneknya, dan seterusnya sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan dengan istrinya atau belum , baik istrinya tersebut masih dalam ikatan perkawinan dengannya mupun yng sudah dicerai atau sudah meninggal.
4.    Keturunan istri, yaitu anak perempuanya, cucu perempuannya dan seterusnya sampai kebawah, jika seorang tersebut sudah berhubungan badan dengan istrinya  itu, baik istrinya itu mmasih dalam ikatan perkawinan dengannya maupun sudah diceraikan atau sudah mninggal. Namun apabilaia belum berhubungan badan dengan sang istri, kemudian menceraikannya maka ia boleh menikahi keturunan mantan istrinya itu.

Selain perkawinan yang sah seperti dijelaskan di atas, mazhab Hanafi menambahkan tiga sahab yaitu:
1.    Hubungan badan dalam akad nikah yang fasid, seperti nikah tanpa ada saksi
2.    Hubungan badan yang terjadi karena kekeliruan, seperti seseorang berhubungan badan dengan seorang perempuan yang disangka istrinya.
3.    Hubungan badan karena zina, penyebab terkahir ini juga ditambahkan oleh mazhab hanbali. Dalam tiga hal ini keharaman yang ditimbulkannya sama seperti nikah yang sah.misalnya, seseorang  haram menikahi anak prempuan dari hasil zina.

F.      Mahram Abadi dan Temporer
1.    Mahram Abadi
Para ulama membagi mahram yang brsifat abadi ini mnjadi tiga klompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu, karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanan dan akibat hubungan sepersusuan)
a.    Mahram karena Nasab
·      Ibu kandung dan seterusnya keatas seperti nenek, ibunya nenek.
·      Anak wanita dan seterusnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
·      Saudara kandung wanita.
·      Ammat atau bibi (saudara wanita ayah)
·      Khalaat / bibi (saudara wanita ibu)
·      Banatul Akh/ anak perempuan dari saudara laki-laki.
·      Banatul Ukh / anak perempuan dari saudara perempuan
b.      Mahram karena Musharah
·      Ibu dari istri (mertua wanita)
·      Anak wanita dari istri (anak tiri)
·      Istri dari anak laki-laki (menantu perempuan)
·      Istri dari ayah (ibu tiri)
c.       Mahram karena Rada’ah
·      Ibu yang menyusui
·      Ibu dari wanita yang menyusui
·      Ibu dari suami yang istrinya menyusuinya (nenek juga)
·      Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan)
·      Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui
·      Saudara wanita dari ibu yang menyusui
2.      Mahram Temporer
Kemahraman ini bersifat sementara , bila terjadi sesuatu laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya, diantara para wanita yang termasuk kedalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
a.       Istri orang lain, tidak bolh dinikahi tapi bila sudah dicraikan oleh suaminya maka boleh dinikahi.
b.      Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal ataupun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi, demikian juga dengan bibi dari istri.
c.       Wanita yang masih dalam masa iddah, yaitu masa mnunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
d.      Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kmbali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dngan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
e.       menikah dalam keadaan ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik utuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain, begitu ibadah ihramnya selesai maka boleh dinikahi.
f.       Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka.Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka , boleh menikahi budak.
g.       Menikahi wanita pezina dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina , sebaliknya ketika wanita itu sudah bertaubat nasuha umumnya ulama membolehkannya.
h.      Menikahi sttri yang sudah dili’an yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat
i.        Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah, namun begitu wanita itu masuk agama ahli kitab dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.[5]

G.    Mahram Terhadap Anak Tiri
Dalam surat An-nur Allah Subhanahu Wata`ala menyebutkan daftar orang-orang yang menjadi mahram satu per satu. Dan salah    adalah hubungan anak dan ibu tirinya dengan sebutan putera suami.
Maksudnya seorang wanita boleh terlihat sebagian auratnya oleh anak laki-laki suaminya atau anak tirinya. Sebab anak suami meski bukan lahir dari kandungan sendiri, dengan adanya pernikahan menjadi anak sendiri secara hukum aurat.
Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Maka meski ada rasa risih, namun secara syar`i hal itu tidak berdosa, asalkan yang boleh terlihat sebatas yang wajar seperti tangan, kaki dan kepala. Sedangkan yang lebih jauh dari itu, hukumnya tetap haram.


H.    Mahram Terhadap Ibu Tiri
Bagi   laki-laki, maka ibu tiri  menjadi mahram  secara muabbad. Atau kalau menggunakan istilah yang anda pakai,  tidak batal dengan ibu tiri
Dalilnya adalah firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan. (QS. An-Nisa’: 22)
Bagi  perempuan, dan mempunyai suami, maka kedudukan suami  terhadap ibu tiri bukan termasuk mahram. Karena ibu tiri  itu bukan wanita yang dinikahi oleh ayah suami . Ibu tiri itu adalah wanita yang dinikahi oleh mertua suami.
Adapun ibu kandung anda seandainya beliau masih hidup, tentu menjadi mahram bagi suami . Sebab almarhumah ibu itu adalah ibu dari isterinya. Ibu dari isteri (mertua) telah ditetapkan sebagai wanita mahram yang bersifat muabbad dengan dalil:
Diharamkan atas kamu…ibu-ibu isterimu (QS. An-Nisa’: 2)
Jadi ibu mertua tiri anda itu termasuk ‘batal’ bagi suami anda. Walau pun urusan batal atau tidak batal ini sebenarnya urusan khilafiyah di kalangan para ulama. Yang baku sebenarnya bahwa suami anda bukan mahram muabbad terhadap ibu tiri anda. Isteri dari mertua laki-lakinya.[6]

I.       Mahram dari Hasil Zina  (Al-hawiy al-kabir)
1.      Pengertian anak Hasil Zina
Menurut Al-Jurjani zaina adalah memasukkan dzakar ke dalam farji yang bukan istrinya.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat dikatakan zina jika adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya. Jika ada dua orang yang berbeda jenis kelamin bermesraan seperti berciuman atau berpelukan belum dikatakan berzina yang dijatuhi hukum Dera dan ataupun Rajam, tetapi mereka bis dihukumi Ta’zir dengan tujuan mendidik.
Dengan demikian yang dimaksud dengan anak hasil zina adalah anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan dengan tanpa kekeliruan atau kesalahan.
Dengan demikian status anak hasil zina bernasab kepada pihak ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
2.     Sumber Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina  berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman ayat 14:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180]. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu”.
Dari ayat ini dapat dilihat dengan jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5 tahun, ini berarti lama menyusui yang disyari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun, maka bayi yang lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah idak dapat dikatakan anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan, maka anak tersebut dapat dikatakn dengan anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan atau menghina anak tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah orang tuanya bukan si anak. Sebagaimana Hadits Nabi SAW:
“Semua anak dilahirkan atas kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam (Tauhid), sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya menjadi yahudi, Nasrani atau Majus. (HR.Abu ya’la, Al-Thabarani dan Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).
3.     Pandangan Ulama tentang Status dan Hukum Anak Hasil Zina
Menurut Ulam ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak Hasil Zina dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
a.      Hilangnya martabat Mahram dalam keluarga
1)     Menurut Imam Malik dan Imam syafi’i, jika anak hasil zina itu perempuan, maka antara bapak dengan anak tersebut dibolehkan menikah, baik saudara perempuan, cucu perempuan, keponakan perempuannya yang semuanya dari hasil zina.
2)     Menurut Mazhab Syi’ah Imamiyah. Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan haram menikahi anak hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu haram hukumnya menikahinya. Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan alasan akal manusiawi karena melihat secara zahir bahwa anak tersebut merupakan hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia merupakan darah dagingnya sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut dilihat secara tradisi saja, namun secara syara’ yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan tersebut. Secara hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat bahwa orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya kelak ketika anaknya menikah.
b.     Hilangnya hak waris dalam keluarga.
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap anak hasil zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena adanya ikatan nikah, sehingga anak diluar nikah tidak dapat dijadikan hubungan kekerabatan untuk mendapatkan warisan.
1)     Menurut Ahlu Sunnah dan Mazhab Hanafiyah menyebutkan anak hasil zina memiliki hubungan kewarisan dengan ibunya dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat mewarisi dari pihak ibu saja.
2)     Golongan Syi’ah menganggap bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hak waris baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Karena warisan merupakan suatu ni’mat bagi ahli waris. Sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan sehingga keni’matan atau anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.
Para ulama menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya, dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.

Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah  Hanya saja, kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut.

Adapun anak-anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur, yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang merupakan ‘ashabah wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah, putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya.


j.        Wanita yang Halal Dinikahi
1.      Anak tante (sepupu)
2.      Anak tiri kita yang ibunya telah kita ceraikan
3.      Cucu perempuan kita (bukan cucu kandung )
4.      Istri anak angkat dan anak tiri kita
5.      Anak angkat kita
6.      Anak perempuan ibu yang menyusui kita yang tidak menyusu pada ibunya ( anak angkat yang menyusu pada ibu kandung)
7.      Dan tentu saja orang lain[7]



DAFTAR PUSTAKA

Hasan mustofa M. Ag.2011.pengantar hukum keluarga.Bandung.pustaka setia 




[1] Id.mwikipedia.org

[2] Lulurezky.blogspot.com
[3] Mustofa hasan,pengantar hukum keluarga,hal.260
[4] Asysyariah.com
[5] Jampang.wodpres.com
[6] M.eramuslim.com
[7] Id.m.wikipedia.org 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...