MAHRAM (Fiqh Munakahat)
Allah
menciptakan segala sesuatu di alam ini berpasang-pasangan. Siang berpasangan
dengan malam, negatif berpasangan dengan positif, jantan berpasangan dengan
betina, laki-laki berpasangan dengan perempuan. Allah berfirman dalam surat Adz-dhariyat
: 49 yang artinya, “Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya
kamu mengingat kebesaran Allah.” Akan tetapi berpasang-pasangan manusia
laki-laki dengan perempuan berbeda cara dan aturannya dengan binatang dan
benda-benda lainnya.
Tentang
cara aturan berpasang-pasangan atau perjodohan antara laki-laki dengan perempuan,
Allah tentukan dengan cara perkawinan islam dalam agama islam yang mempunyai
syarat, rukun, dan batas-batasnya tersendiri. Dalam perkawinan islam yang
termasuk dalam penjelasan batas-batasnya, salah satunya adalah Muhram/mahram
nikah atau siapa-siapa saja yang haram untuk dinikahi.
Mungkin di antara kita ada yang tidak
mengetahui apa itu mahram dan siapa saja yang termasuk mahramnya. Padahal
mahram ini berkaitan dengan banyak masalah. Seperti tidak bolehnya wanita
bepergian jauh (bersafar) kecuali dengan mahramnya. Tidak boleh seorang
laki-laki dengan wanita berduaan kecuali dengan mahramnya. Wanita dan pria
tidak boleh jabat tangan kecuali itu mahramnya. Dan masih banyak masalah
lainnya.
Dalam hal ini, islam sebagai agama
terakhir yang membawa syariat terakhir, maka islampun sudah memberikan
rambu-rambu yang mengatur perkara ini, sehingga umat muslim merasa aman dan
terpeliharalah dari mulai jiwa dan kehormatannya. Konsep mahram yang diatur
oleh islam ini akan menjaga kemuliaan derajat wanita dan laki-laki, sehingga
tidak mudah untuk bergaul dan berinteraksi antar sesama yang lain jenis.
Dalam kamus istilah fiqh dikatakan bahwa
mahram itu adalah yang haram dinikahi, karena ada hubungan nasab atau susuan.
Melihat aurat mahram/mahramah, hukumnya boleh / tidak haram, selain bagian
antara pusar dan lutut. Seorang tidak boleh keluar rumah, kecuali bersama
dengan mahramnya / mahramahnya. (M. Abdul Mujieb Mabruri Tholhah Syafi’ah,
kamus istilah fiqh, hal. 186).
Bahkan ada salah pengungkapan dimasyarakat
dalam pengungkapan kata mahram ini. Ada yang mengatakan mahram dengan kata
muhrim, padahal dua kata ini sangat berbeda dalam penggunaan dan dalam artinya.
Muhrim digunakan untuk orang yang sedang berihram, sedangkan mahram adalah
seseorang yang di haramkan untuk menikahinya.
Dengan penulisan makalah ini, semoga kita
akan memahami siapa saja mahram kita dan apa saja yang boleh dan tidak boleh
dilakukan kepada mahram, sehingga kita tidak salah dalam berucap mengatakan
mahram dengan muhrim dan juga pelaksanaan dalam pergaulan sehari-hari, agar
kita mampu menjaga sikap dan diri kita agar tidak terjerumus kedalam perbuatan
dosa.
A. Definisi Mahram
Maharam dalam ilmu
fiqh kata mahram berasal dari bahasa arab yaitu mahram, mamilki arti sesuatu
yang dilarang. Dalam fiqh istilah mahram ini digunakan untuk menyebut wanita
yang haram dinikahi oleh pria. Selain istilah mahram terkadang juga ada sebutan
muhrim. Sebenarnya arti dari muhrim adalah yang mengharamkan. Dalam hal ini
yang dimaksud adalah suami karena suami ,karena suami menyebabkan seorang
wanita haram dinikahi oleh pria lain.
Mahram adalah smua
orang yang haram dinikahi selamanya
Karena sebab keturunan persusuan dan pernikahan dalam syariat islam.[1]
B. Landasan Hukum Mahram
Dasar hukum mahram
nikah adalah dalil al-quran yang terdapat dalam surat An-Nisa ayat 22-24 yaang artinya
Ayat 22 “ dan
janganlah kamu kawini wanita-wanita yang
telah dikawini ayahmu terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu amat keji dan dibenci allah dan seburuk-buruk jalan yang
ditempuh”
Ayat 23 “ diharamkan
atas kamu mengawini ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu
yang perempuan, saudara bapakmu yang perempuan, saudara ibumu yang perempuan,
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara
perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu, yang dalam
pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu campur
dengan istrimu itu dan sudah kamu ceraikan maka tidak berdosa kamu
mengawininya, dan diharamkan bagimu istri-istri anak kandungmu (menantu) dan
menghimpunkan dalam perkawinan dua perempuan yang bersaudara kecuali yang telah
terjadi pada masa lampau sesungguhna allah maha pengampun lagi maha penyayang.”
Ayat 24 “ kamu miliki
dan diharamkan juga kamu mengawini wanita yang bersuami kecuali budak yang
allah tetapkan hukum itu sebagai ketetapannya atas kamu, dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina, maka istri-istri yang kamu nikmati diantara mereka
briknlah kepada mereka maharnya dengan
sempurna sebagai suatu kewajiban dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu
yang telah kamu saling merelakan sesudah menentukan mahar itu sesungguhnya
allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”[2]
C. Kelompok mahram Nasab (keturunan)
1.
Orangtua yakni , ibu, nenek, dan
seterusnya hingga ke atas
2.
Keturunannya, yaitu anak perempuan,
cucu perempuan, dan setrusnya sampai kebawah
3.
Keturunan kedua orangtua atau
salahsatunya, yaitu saudara perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu
beserta anak perempuan mereka, cucu perempuan mereka dan setserusnya sampai
kebawah.
4.
Keturunan langsung dari kakek
atau nenek, yaitu saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu.
Sedangkan
keturunan tidak langsung dari kakak atau nenek tidak tergolong mahram. Misalnya
anak perempuan paman atau bibi.[3]
D. Kelompok Mahram Rada’ah
(persusuan)
Apabila terjadi Rada’ah
(persusuan) yang memenuhi syarat, maka terjadilah hukum mahram, antara bayi dan
ibu menyusui (murdhi’ah) dan keluarga dekat murdhi’ah sebagaimana mahram nya
sebab nasab (kekerabatan).
Ibu yang menyusui
(murdhi’ah) tidak ada hubungan mahran dengan keluarga bayi yang di susui hanya
si bayi (radhi) yang ada hunbungan mahram dengan seluruh keluarga dekat ibu
susuan (murdhi’ah)
Rincian sebagai
berikut :
1.
Perempuan yang menyusui
(murdhi’ah)
2.
Suami ibu susuan
3.
Ibu bapak dari murdhi’ah/ibu
susuan
4.
Ibu bapak dari suam ibu susuan
5.
Adik beradik dari ibu susuan
6.
Adik beradik dari bapak susuan
7.
Anak-anak dari ibu dan bapak
susuan
8.
Anak-anak dari ibu susuan
9.
Anak-anak dari bapak susuan
Sesusuan
yang mengharamkan imam maliki beserta muridnya
beliau berpendapat bahwa pada hakekatnya tidak ada batas tertentu dari sesusuan yang
mengharamkan. Sesusuan yang mengharamkan ialah yang dilakukan dalam waktu
tertentu jika ia baru menyusu sekali atau dua kali hal ini tidak menyebabkan
haramnya kawin, karna bukan disebut menyusu dan pula tidak bisa mengenyangkan,
sesuai dengan sabda rasulullah yang artinya “ tidak mengharamkan satu kali
isapan dan tidak (pula )dua kali hisapan ” ( H.R Juma’ah kecuali Bukhari).
Berbeda
dengan pendapat imam abu Hanifah ia berpendapat bahwa semua macam hisapan akan
mengharamkan ahli dhahir memberi batas dengan tiga kali hisapan untuk kepastian
hukum perlu ditetapkan jumlah hisapan bayi yang di susuinya yang menyebabkan
larangan perkawinan. Dalam hal ii imam syafi’I menetapkan lima kali hisapan
susuan yang mengharamkan berdasarkan hadist Nabi yang artinya “ dari Aisya
R.A ia berkata : dahulu diantara (
ayat-ayat ) al-qur’an yang diturunkan ( terdapat kata-kata) sepuluh susunan kemudian kata tersebut
dinasahkan dengan kata-kata lima kali hisapan yang diketahui, lalu rasulullah
wafat, sedangkan kata-kata itu termasuk dalam Al- Qur’an yang dibaca ” (H.R Abu
Daud dan An- Nasaai)
Air susu
campuran , menurut hanafiah , air susu yang bercampur dengan benda atau cairan
lain tidak mengharamkan sedangkan syafi’iah
dan sebagia pengikut malik mengharamkan.
Masa
menyusui para ahli fiqh sepakat menyusui
seorang anak adalah dua tahun bagi orang-orang yang ingin menyempurnakan susuan
anaknya Allah berfirman yang artinya “
dan ibu-ibu yang menyusui anak-anaknya dua tahun penuh bagi siapa yang
ingin menyempurnakan penyusuannya ” Q.S Al-Baqarah:233
Persaksian
atas penyusuan para ahli fiqh sepakat bahwa diperlukan adanya saksi yang
menyaksikan berbeda pendapat para ahli dalam hal penetapan jumlah minimum saksi
yang diperlukaan karena persaksian penyusuan dapat disamakan dengan persaksian
muamalat, maka jumlah saksi meminimum sama dengan persaksian muamalat
berdasarkan firman Allah yang artinya
“dan persaksikanlah olehmu dua orang saksi laki-laki diantara kamu ,
jika tidak ada dua orang laki-laki maka boleh seorang laki-laki dan dua orang
perempuan..” (Q.S Al-Baqarah : 282). Imam syafi’I membolehkan persaksian susuan
itu dilakukan oleh empat orang perempuan
sebagai ganti dari dua orang laki-laki dan dua orang perempuan.[4]
E. Kelompok Mahram mushaharah
(perkawinan)
1.
Istri orang tua, yakni istri
ayah, istri kakek, dan seterusnya hingga ke atas, baik sudah disetubuhi maupun
belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun sudah dicerai atau
ditinggal wafat. Dengan kata lain, yang termasukmahram adalah ibu tiri, nenek
tiri dan seterusnya sampai ke atas.
2.
Istri keturunan, yaitu istri
anak, istri cucu,dan setersnya sampai ke bawah,baik yang sudah disetubuhi
ataupun belum, baik yang masih berstatus sebagai istri mereka maupun yang sudah
dicerai atau ditinggal meninggal.
3.
Orang tua istri, yaitu ibunya,
neneknya, dan seterusnya sampai ke atas, baik orang itu sudah berhubungan badan
dengan istrinya atau belum , baik istrinya tersebut masih dalam ikatan
perkawinan dengannya mupun yng sudah dicerai atau sudah meninggal.
4.
Keturunan istri, yaitu anak
perempuanya, cucu perempuannya dan seterusnya sampai kebawah, jika seorang
tersebut sudah berhubungan badan dengan istrinya itu, baik istrinya itu mmasih dalam ikatan
perkawinan dengannya maupun sudah diceraikan atau sudah mninggal. Namun
apabilaia belum berhubungan badan dengan sang istri, kemudian menceraikannya
maka ia boleh menikahi keturunan mantan istrinya itu.
Selain
perkawinan yang sah seperti dijelaskan di atas, mazhab Hanafi menambahkan tiga
sahab yaitu:
1.
Hubungan badan dalam akad nikah
yang fasid, seperti nikah tanpa ada saksi
2.
Hubungan badan yang terjadi
karena kekeliruan, seperti seseorang berhubungan badan dengan seorang perempuan
yang disangka istrinya.
3.
Hubungan badan karena zina,
penyebab terkahir ini juga ditambahkan oleh mazhab hanbali. Dalam tiga hal ini
keharaman yang ditimbulkannya sama seperti nikah yang sah.misalnya,
seseorang haram menikahi anak prempuan
dari hasil zina.
F. Mahram Abadi dan Temporer
1.
Mahram Abadi
Para
ulama membagi mahram yang brsifat abadi ini mnjadi tiga klompok berdasarkan
penyebabnya. Yaitu, karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan
(perbesanan dan akibat hubungan sepersusuan)
a.
Mahram karena Nasab
·
Ibu kandung dan seterusnya keatas
seperti nenek, ibunya nenek.
·
Anak wanita dan seterusnya ke
bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.
·
Saudara kandung wanita.
·
Ammat atau bibi (saudara wanita
ayah)
·
Khalaat / bibi (saudara wanita
ibu)
·
Banatul Akh/ anak perempuan dari
saudara laki-laki.
·
Banatul Ukh / anak perempuan dari
saudara perempuan
b.
Mahram karena Musharah
·
Ibu dari istri (mertua wanita)
·
Anak wanita dari istri (anak
tiri)
·
Istri dari anak laki-laki
(menantu perempuan)
·
Istri dari ayah (ibu tiri)
c.
Mahram karena Rada’ah
·
Ibu yang menyusui
·
Ibu dari wanita yang menyusui
·
Ibu dari suami yang istrinya
menyusuinya (nenek juga)
·
Anak wanita dari ibu yang
menyusui (saudara wanita sesusuan)
·
Saudara wanita dari suami wanita
yang menyusui
·
Saudara wanita dari ibu yang
menyusui
2.
Mahram Temporer
Kemahraman ini bersifat sementara
, bila terjadi sesuatu laki-laki yang tadinya menikahi seorang wanita, menjadi
boleh menikahinya, diantara para wanita yang termasuk kedalam kelompok haram
dinikahi secara sementara waktu saja adalah :
a.
Istri orang lain, tidak bolh dinikahi
tapi bila sudah dicraikan oleh suaminya maka boleh dinikahi.
b.
Saudara ipar, atau saudara wanita
dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi tidak boleh khalwat atau melihat sebagian
auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan
suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal
ataupun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh
dinikahi, demikian juga dengan bibi dari istri.
c.
Wanita yang masih dalam masa
iddah, yaitu masa mnunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu
selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.
d.
Istri yang telah ditalak tiga,
untuk sementara haram dinikahi kmbali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah
dia menikah lagi dngan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya
itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi
suaminya bukan sebagai muhallil belaka.
e.
menikah dalam keadaan ihram,
seorang yang sedang dalam keadaan berihram baik utuk haji atau umrah, dilarang
menikah atau menikahkan orang lain, begitu ibadah ihramnya selesai maka boleh
dinikahi.
f.
Menikahi wanita budak padahal
mampu menikahi wanita merdeka.Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka
, boleh menikahi budak.
g.
Menikahi wanita pezina dalam hal
ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina , sebaliknya ketika wanita itu
sudah bertaubat nasuha umumnya ulama membolehkannya.
h.
Menikahi sttri yang sudah dili’an
yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat
i.
Menikahi wanita non muslim yang
bukan kitabiyah atau wanita musyrikah, namun begitu wanita itu masuk agama ahli
kitab dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.[5]
G.
Mahram
Terhadap Anak Tiri
Dalam surat An-nur Allah Subhanahu
Wata`ala menyebutkan daftar orang-orang yang menjadi mahram satu per satu. Dan
salah adalah hubungan anak dan ibu tirinya dengan
sebutan putera suami.
Maksudnya seorang wanita boleh
terlihat sebagian auratnya oleh anak laki-laki suaminya atau anak tirinya.
Sebab anak suami meski bukan lahir dari kandungan sendiri, dengan adanya
pernikahan menjadi anak sendiri secara hukum aurat.
Katakanlah kepada wanita yang
beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari padanya. Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka,
atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau
budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak
mempunyai keinginan atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita.
Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang
beriman supaya kamu beruntung. (QS. An-Nur : 31)
Maka meski ada rasa risih, namun
secara syar`i hal itu tidak berdosa, asalkan yang boleh terlihat sebatas yang
wajar seperti tangan, kaki dan kepala. Sedangkan yang lebih jauh dari itu,
hukumnya tetap haram.
H.
Mahram
Terhadap Ibu Tiri
Bagi laki-laki, maka ibu tiri menjadi mahram secara muabbad. Atau kalau menggunakan
istilah yang anda pakai, tidak batal
dengan ibu tiri
Dalilnya
adalah firman Allah SWT:
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh
ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat
keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan.
(QS. An-Nisa’: 22)
Bagi perempuan, dan mempunyai suami, maka
kedudukan suami terhadap ibu tiri bukan
termasuk mahram. Karena ibu tiri itu
bukan wanita yang dinikahi oleh ayah suami . Ibu tiri itu adalah wanita yang
dinikahi oleh mertua suami.
Adapun
ibu kandung anda seandainya beliau masih hidup, tentu menjadi mahram bagi suami
. Sebab almarhumah ibu itu adalah ibu dari isterinya. Ibu dari isteri (mertua)
telah ditetapkan sebagai wanita mahram yang bersifat muabbad dengan dalil:
Diharamkan atas kamu…ibu-ibu isterimu (QS.
An-Nisa’: 2)
Jadi
ibu mertua tiri anda itu termasuk ‘batal’ bagi suami anda. Walau pun urusan
batal atau tidak batal ini sebenarnya urusan khilafiyah di kalangan para ulama.
Yang baku sebenarnya bahwa suami anda bukan mahram muabbad terhadap ibu tiri
anda. Isteri dari mertua laki-lakinya.[6]
I.
Mahram
dari Hasil Zina (Al-hawiy al-kabir)
1. Pengertian anak Hasil Zina
Menurut Al-Jurjani zaina adalah memasukkan dzakar ke dalam
farji yang bukan istrinya.
Dari definisi diatas, maka dapat disimpulkan perbuatan dapat
dikatakan zina jika adanya persetubuhan antara dua orang yang berbeda jenis kelaminnya.
Jika ada dua orang yang berbeda jenis kelamin bermesraan seperti berciuman atau
berpelukan belum dikatakan berzina yang dijatuhi hukum Dera dan ataupun Rajam,
tetapi mereka bis dihukumi Ta’zir dengan tujuan mendidik.
Dengan demikian yang dimaksud dengan anak hasil zina adalah
anak yang terlahir dari rahim seorang wanita akibat dari bertemunya dua jenis
kelamin antara laki-laki dan wanita tanpa adanya hukum yang sah dan dilakukan
dengan tanpa kekeliruan atau kesalahan.
Dengan demikian status anak hasil zina bernasab kepada pihak
ibu bukan bapak yang menyebabkan wanita itu hamil.
2. Sumber
Hukum
Kriteria minimal anak tersebut dapat dinilai anak zina berdasarkan ayat Al-Qur’an yaitu QS. Luqman
ayat 14:
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada
dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun[1180].
Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu”.
Dari ayat ini dapat dilihat dengan
jelas bahwa lama ibu mengandung dan menyusui anaknya adalah 30 bulan atau 2,5
tahun, ini berarti lama menyusui yang disyari’atkan oleh Islam adalah 2 tahun,
maka bayi yang lahir setelah setengah tahun atau 6 bulan setelah menikah idak
dapat dikatakan anak zina, namun jika lahir sebelum umur menikah 6 bulan, maka
anak tersebut dapat dikatakn dengan anak zina atau anak di luar nikah.
Dengan demikian, anak yang lahir secara tidak sah tersebut
terlepas semua hubungan secara hakiki terhadap jalur ayahnya termasuk hal
warisan. Namun, meskipun anak tersebut berstatus anak zina, tetap menjadi
sebuah kewajiban bagi seluruh muslim untuk menjaga dan tidak menjelek-jelekkan
atau menghina anak tersebut karena pada dasarnya yang bersalah adalah orang tuanya
bukan si anak. Sebagaimana Hadits Nabi SAW:
“Semua anak dilahirkan atas
kesucian/kebersihan (dari dosa dan noda) dan semuanya beragama Islam (Tauhid),
sehingga ia jelas bicaranya. Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan
anaknya menjadi yahudi, Nasrani atau Majus. (HR.Abu ya’la, Al-Thabarani dan
Baihaqi dari Al-Aswad bin Sar’i).
3. Pandangan
Ulama tentang Status dan Hukum Anak Hasil Zina
Menurut Ulam ada dua akibat nyata yang diterima oleh anak
Hasil Zina dikarenakan perbuatan salah orang tuanya, yaitu:
a.
Hilangnya
martabat Mahram dalam keluarga
1)
Menurut
Imam Malik dan Imam syafi’i, jika anak hasil zina itu perempuan, maka antara
bapak dengan anak tersebut dibolehkan menikah, baik saudara perempuan, cucu
perempuan, keponakan perempuannya yang semuanya dari hasil zina.
2)
Menurut
Mazhab Syi’ah Imamiyah. Hanafiyah dan Hambaliyah menyatakan haram menikahi anak
hasil zinanya dengan alasan meskipun anak tersebut hasil zina namun tetap
dianggap sebagai anak menurut pengertian bahasa dan adat/tradisi. Karena itu
haram hukumnya menikahinya. Pendapat ini merupakan pendapat yang berdasarkan
alasan akal manusiawi karena melihat secara zahir bahwa anak tersebut merupakan
hasil dari perbuatannya dan secara biologis dia merupakan darah dagingnya
sendiri. Menurut mereka bertiga, keharaman tersebut dilihat secara tradisi
saja, namun secara syara’ yang shahih mereka juga membolehkan pernikahan
tersebut. Secara hak perwalian ketika menikah maka Jumhur Ulama sepakat
bahwa orang tua secara biologis tersebut tidak memiliki hak untuk menikahkan anaknya
kelak ketika anaknya menikah.
b.
Hilangnya
hak waris dalam keluarga.
Hukum Islam tidak menetapkan hubungan kewarisan terhadap
anak hasil zina kepada bapaknya. Itu karena tidak mempunyai hubungan
kekerabatan dengannya. Sedangkan hubungan kekerabatan tersebut timbul karena
adanya ikatan nikah, sehingga anak diluar nikah tidak dapat dijadikan hubungan
kekerabatan untuk mendapatkan warisan.
1)
Menurut
Ahlu Sunnah dan Mazhab Hanafiyah menyebutkan anak hasil zina memiliki hubungan
kewarisan dengan ibunya dan kerabatnya. Dengan demikian, ia hanya dapat
mewarisi dari pihak ibu saja.
2)
Golongan
Syi’ah menganggap bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hak waris baik dari
pihak laki-laki maupun perempuan. Karena warisan merupakan suatu ni’mat bagi ahli
waris. Sedangkan zina merupakan suatu kemaksiatan sehingga keni’matan atau
anugerah tidak dapat dicampurkan dengan kemaksiatan.
Para ulama
menyatakan bahwa seorang anak zina dinasabkan kepada ibu yang melahirkannya,
dan keduanya saling mewarisi. Jadi nasab anak tersebut dari jalur ayah tidak
ada. Yang ada hanyalah nasab dari jalur ibunya. Di antara dalil yang
menunjukkan hal ini adalah bahwasanya suami istri yang melakukan li’an3 di
hadapan hakim karena suaminya menuduh bahwa anak yang dikandung istrinya adalah
hasil perzinaan sedangkan istrinya tidak mengaku lalu keduanya dipisahkan oleh
hakim, maka anak yang dikandung wanita itu dinasabkan kepada ibunya dan
terputus nasabnya dari jalur ayah. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’d
As-Sa’idi radhiyallahu ‘anhu yang muttafaq ‘alaih.
Jika kedua orang yang berzina tersebut menikah dalam keadaan
wanitanya hamil maka pernikahan itu tidak sah Hanya saja, kalau pernikahan itu
dilangsungkan dengan anggapan bahwa hal itu boleh dan sah sebagaimana mazhab
sebagian ulama yang berpendapat: “Boleh bagi seorang lelaki yang menghamili
seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara
menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari
perzinaan dan diketahui dengan pasti/yakin bahwa yang menghamilinya adalah
laki-laki itu”, maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya,
pernikahan itu berlangsung dengan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syariat,
padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status
anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina, dia tetap dinasabkan kepada
ibunya dan tidak sah dinasabkan kepada lelaki tersebut.
Adapun anak-anak yang dihasilkan
setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak-anak keduanya. Akan tetapi wajib atas keduanya untuk
berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah,
sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa
harus melakukan istibra` ar-rahim. Ini adalah jawaban Syaikhuna Al-Faqih
Abdurrahman Al-‘Adni hafizhahullah wa syafahu.
Dengan demikian, diketahuilah bahwa
hubungan antara anak zina tersebut dengan anak-anak yang lahir dengan nikah
syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, yang berarti mereka adalah
mahramnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur,
yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap lelaki yang
merupakan ‘ashabah wanita itu, seperti ayahnya, kakeknya dari jalur ayah,
putranya, anak laki-laki putranya, saudara laki-lakinya yang sekandung atau
seayah, pamannya dari jalur ayah dan ‘ashabah lainnya.
j.
Wanita
yang Halal Dinikahi
1.
Anak tante (sepupu)
2.
Anak tiri kita yang ibunya telah
kita ceraikan
3.
Cucu perempuan kita (bukan cucu
kandung )
4.
Istri anak angkat dan anak tiri
kita
5.
Anak angkat kita
6.
Anak perempuan ibu yang menyusui
kita yang tidak menyusu pada ibunya ( anak angkat yang menyusu pada ibu
kandung)
7.
Dan tentu saja orang lain[7]
DAFTAR PUSTAKA
Hasan
mustofa M. Ag.2011.pengantar hukum
keluarga.Bandung.pustaka setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar