SAKSI DALAM PERNIKAHAN
Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan
kepada firman Allah yang termaktub dalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada
beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari
berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika
saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan.
Salah satu
ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu
pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat
sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai
masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud
disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan.
Pernikahan disyariatkan oleh Islam
karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta
menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan
suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan
dalam kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur
sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan
begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus
diikuti dan dipelihara.
1. Pengertian Saksi dalam Akad Nikah
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg melihat atau
mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam peraturan perundangan yaitu
pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.[1]
Sedangkan
dalam pengertiannya Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung
akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang lain. Masalah
saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi
untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai
atau rujuk sangat jelas diutarakan.[2]
Dalam
rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:
“Apabila
mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau
lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang
adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.
Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah
niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Thalaq:2)
Dalam
ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada peristiwa rujuk yakni
ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak suami ingin kembali
kepada istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan pernikahan tersebut
dengan cara membiarkan masa tenggang itu berlalu atau habis.
2.
Landasan Hukum Saksi Nikah
Hadits yang menceritakan dari Aisyah:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya :
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” (H.R.
Daruqutni).
(HR. Ahmad ).
Sebuah
pernikahan tidak sah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat.
Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam
islam.
Rasulullah SAW bersabda:
ايما امراة نكحت بخير اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل بها فلها
المهرˏ وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
“Wanita mana
saja yang menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi yang ‘adil, maka
pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah mencampurinya, maka ia
wajib membayar mahar untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan adalah
wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”[3]
Praktek ini berlaku dikalangan sahabat Nabi SAW dan
para Tabi’in. Mereka mengatakan bahwa perkawinan tanpa saksi tidak sah.
Pendapat ini tidak ada menantang kecuali dari kalangan syiah dan Daud bin Ali
Al Ash fihani Imam-imam Zhahiriyah. Mereka mengatkan bahwa perkawinan sah tanpa
saksi . mereka beralasan bahwa riwayat-riwayat menganai saksi untuk perkawinan
itu tidak ada, dan riwayat yang ada dianggap tidak sahih, tidak dapat dijadikan
Hujjah. Dari Ayat Al-Qur’an dan Hadist-Hadist, saksi di isyaratkan dalam akad
nikah karena fungsinya yang penting untuk pencegahan tuduhan zina terhadap
hubungan suami istri, mencapai makna terbuka dan pengumuman, dan juga sebagai
penentu sah atau tidaknya akad Nikah.
3.
Syarat Bagi Saksi Nikah
a. Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan
yang syah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 orang
saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi
saksi lebih banyak, sebab nilai ‘adalah dimasa sekarang ini sudah sangat kecil
dan berkurang.
b. Kedua saksi harus beragama islam.
Kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya kafir
atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah.
c. Berakal
Maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi
saksi sebuah pernikahan.
d. Baligh.
Maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak
sah bila menjadi saksi.
e. Merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus
orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia
berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah
sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam
alquran maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk
menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh
ditolak.
f. Laki-laki.
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua
wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki
dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita. Golongan
Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-laki. aqad nikah dengan
saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah
g. Adil
Kedua saksi itu
bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu
melakukan dosa kecil dan tetap menjaga marwah.Ulama Hanafi tidak mensyaratkan
adil pada saksi perkawinan. (Ibnu Al-Humam :197).
h.
Kedua saksi dapat melihat dan mendengar.
Kedua saksi tersebut tidak buta dan tidak tuli karena
dapat menggangu keabsahan sebagai seorang saksi.
4.
Perbandingan Saksi
Nikah dengan Saksi Lainnya
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi. Adapun
yang tidak diperbolehkan menjadi saksi persidangan adalah :
- Suami
atau istri
- Orang
yang sakit jiwa
- Anak-anak
kurang dari 15 tahun Namun dalam anggota keluarga sedarah/semenda boleh
menjadi saksi dalam sengketa mengenai status perdata (perkara
cerai/perjajnjian kerja) berhak menjadi saksi.
Syarat Formil Saksi:
- Namanya
sudah ada didalam surat pelimpahan perkara (Pasal 160 ayat (1) huruf (c)
KUHAP);
- Diminta
oleh terdakwa, penasehat hukum, atau penuntut umum (Pasal 160 ayat (1)
huruf (c) KUHAP);
- Dihadapkan
oleh hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum (Pasal 165 ayat
(4) KUHAP);
- Harus
dipanggil secara resmi melalui surat yang sudah diterima 3 hari sebelum
siding pengadilan (Pasal 146 ayat (2) KUHAP).
Syarat Materiil Saksi:
- Tidak
berhubungan keluarga sedarah, atau semenda garis lurus keatas atau kebawah
sampai derajat ke tiga (Pasal 168 huruf (a) KUHAP);
- Tidak
berhubungan saudara baik dari pihak ayah maupun ibu sampai derajat ke tiga
(Pasal 168 huruf (b) KUHAP);
- Tidak
mempunyai hubungan suami isteri meskipun sudah bercerai (Pasal 168 huruf
(c) KUHAP);
- Dewasa,
berumur lebih dari 15 tahun (Pasal 171 huruf (a) KUHAP);
- Tidak
sakit ingatan atau sakit jiwa (Pasal 171 huruf (b) KUHAP);
- Bukan
terpidana mati (menurut common law).[4]
5.
Saksi nikah tanpa perempuan
Madzhab Syafi’i dan Hambali
membolehkan wanita menjadi saksi dalam berbagai macam persoalan, kecuali saksi
nikah. Hal ini berlandaskan dari Hadis yang diriwayatkan Abu Abid: “Bahwa
wanita tidak layak sebagai saksi dalam batas-batas tertentu yaitu saksi dalam
perkawinan dan saksi dalam thalak”
Perempuan tidak boleh menjadi
saksi nikah, karena akad nikah bukanlah akad yang berkaitan dengan harta benda,
dan bukan akad jual beli. Dengan demikian, saksi laki-laki lebih baik dari pada
perempuan.
Madzhab Hanafi mengatakan
bahwa wanita boleh menjadi saksi nikah, dengan catatan didampingi dengan dua
laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini dilandasi dari firman Allah Swt yang
berbunyi:
وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من
رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن
تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang
saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki,
maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa
laki-laki adalah salah satu syarat dari syarat saksi. Menurut mereka, akad
nikah belum dikatakan sah, jika saksi tersebut kurang dari dua orang laki-laki.
6.
Perkawinan
Tanpa Saksi
Nikah
tanpa saksi masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Perbedaan
tersebut terletak pada sudut pandang masing-masing ulama yang memperselisihkan
apakah saksi sebagai syarat sah akad nikah atau syarat penyempurnaan saja
ketika bersetubuh (dukhul). Selain itu dasar hukum yang digunakan
masing-masing ulama juga berbeda-beda.
Jumhur
ulama berpendapat saksi sebagai syarat sah akad nikah, artinya akad nikah harus
dihadiri oleh para saksi, apabila tidak, maka pernikahannya tidak sah. Inilah
pendapat Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut
Ulama Malikiyyah, saksi merupakan syarat sempurnanya pernikahan, bukan syarat
sah pernikahan, maka akad nikah menurut mereka sah tanpa saksi, tetapi tidak
sempurna kecuali dengan saksi. Mereka mengatakan bahwa saksi hukumnya sunnah
ketika akad nikah karena untuk meredam perselisihan. Pendapat ini juga dipilih
oleh Abdullah ibn Umar, Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair, Hasan ibn Ali
dan dari kelompok Ahli hadits (muhadditsin) seperti Abdurrahman ibn Mahdi dan
Yazid bin Harun.[5]
Mereka
beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebutkan soal mempersaksikan
ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an bukan
merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Allah tidak
menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu
pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak
termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja
guna memperjelas keturunan.
Mempersaksikan
ini boleh dilakukan setelah ijab kabul untuk menghindari perselisihan antara
kedua mempelai. Jika waktu ijab kabul tidak dihadiri oleh para saksi tetapi
sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan maka pernikahannya tidak
batal, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal.[6]
Kalangan
ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi, Zaid bin Harun dan Ibnu Zubair
berpendapat bahwa saksi bukan merupakan syarat sah suatu pernikahan. Begitu
juga Abdullah bin Idris, Ubaidullah bin Hasan dan Abu Tsaur berpendapat sama.
Karena menurut mereka hadist-hadist tentang saksi itu tidak ada yang kuat atau
shahih hal serupa juga dikemukakan oleh Madzhab Ja’fariyah dan Dhahiriyah.
Ada
juga pendapat ulama yang berpendapat nikah tanpa saksi boleh kemudian
diumumkan. Pendapat ini dianut oleh Al-Zuhri, Imam Malik dan penduduk Madinah.
Perselisihan
mereka terletak pada apakah memberitahukan akad atau menyaksikan akad nikah
merupakan syarat sah akad nikah atau tidak. Mengenai masalah ini terdapat dua
kelompok yang berselisih pendapat.
Pertama,
memandang bahwa menyaksikan (saksi) merupakan syarat sah akad nikah. Demikian
menurut Jumhur Sahabat dan Jumhur ulama.
Kedua,
memandang bahwa saksi dalam akad nikah tidak menjadi syarat sah akad nikah.
Demikian menurut Abu Tsaur, Imam Ahmad menurut satu riwayat, Adzzahiriyah,
Imamiyah, Ibnu Abi Laila, Usman Al-Batty, (dari kalangan Hanafi); dari kalangan
Sahabat: Ibnu Umar, Hasan ibn Ali dan Ibnu Zubair; dan dari kalangan Tabi’in:
Salim dan Zuhri.
Dalil-dalil
yang dipegang oleh golongan kedua tersebut adalah firman Allah.
“Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa:3)
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian.”
(QS An Nur:32)[7]
Dari
beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa saksi dalam akad nikah
masih diperselisihkan. Ada yang berpendapat saksi itu wajib dalam akad nikah,
ada juga yang berpendapat saksi itu tidak wajib dalam akad nikah.
[1] http://catatanilmupengetahuanku.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[2] https://saveandsound.wordpress.com/2012/02/14/perwalian-dalam-pernikahan-dan-persaksian-dalam-akad-nikah/
[3] http://catatanilmupengetahuanku.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[4] http://yogicahyabagus.blogspot.co.id/2013/01/saksi-persidangan-dan-syaratnya.html
[5] Imam ‘Alauddin Abi Bakar ibn
Mas’ud al Kasani, Badaaiu’ Al Shonaai’i, Juz III, Beirut Libanon: Darul Kutub
al-Ilmiah, t.t. hlm. 391-392