Kamis, 07 Desember 2017

SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN


Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam alqur'an dan sunnah rasulullah. Ada beberapa seperangkat peraturan yang mengikat pada kehidupan manusia dari berbagai aspek kehidupan manusia menjadi tetap beradab dan bernilai ibadah jika saja semua praksis itu di orientasikan kepada Tuhan.
Salah satu ajaran yang terpenting dalam Islam adalah pernikahan (perkawian). Begitu pentingnya ajaran tentang pernikahan tersebut sehingga dalam Al-Qur’an terdapat sejumlah ayat baik secara langsung maupun tidak langsung berbicara mengenai masalah pernikahan. Bila kita amati secara mendalam, maka salah satu maksud disyariatkanya agama Islam oleh Allah swt adalah untuk memelihara keturunan.

Pernikahan disyariatkan oleh Islam karena merupakan salah satu usaha untuk memelihara kemuliaan keturunan serta menjadi kunci kemasyarakat. Oleh sebab itu adanya lembaga perkawinan merupakan suatu kebutuhan pokok umat manusia guna memelihara kedamaian dan keteraturan dalam kehidupan. Dengan demikian, maka persoalan perkawinan yang diatur sedemikian rapi oleh Islam bukanlah suatu persoalan yang bisa di kesampingkan begitu saja, tetapi merupakan salah satu institusi suci yang mutlak harus diikuti  dan dipelihara.


1.      Pengertian Saksi dalam Akad Nikah
Dalam Kamus besar bahasa Indonesia, saksi adalah orang yg melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian). Dalam peraturan perundangan yaitu pada KUHAP Pasal 1 (26) dinyatakan tentang pengertian saksi yaitu:
“Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan perkara tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengertahuannya itu”.[1]
     Sedangkan dalam pengertiannya Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan secara langsung akad pernikahan supaya tidak menimbulkan salah paham dari orang lain. Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.[2]
     Dalam rujuk dan cerai, al-Qur’an menjelaskan:
     “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. At-Thalaq:2)
     Dalam ayat tersebut, Allah SWT menjelaskan kehadiran saksi pada peristiwa rujuk yakni ketika hampir habisnya masa iddah talaq raj’i dan pihak suami ingin kembali kepada istrinya atau melepaskannya, artinya memutuskan pernikahan tersebut dengan cara membiarkan masa tenggang itu berlalu atau habis.

2.      Landasan Hukum Saksi Nikah
Hadits yang menceritakan dari Aisyah:
لاَ نِكَاحَ إِلاَ بوَلِيٍّ وَ شَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya :
“Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” (H.R. Daruqutni).
(HR. Ahmad ).
     Sebuah pernikahan tidak sah bila tidak disaksikan oleh saksi yang memenuhi syarat. Maka sebuah pernikahan sirri yang tidak disaksikan jelas diharamkan dalam islam.
Rasulullah SAW bersabda:
ايما امراة نكحت بخير اذن وليها وشاهدي عدل فنكا حها باطلˏفان دخل بها فلها المهرˏ وان اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له
     “Wanita mana saja yang menikah tanpa izin dari walinya dan dua orang saksi yang ‘adil, maka pernikahan baathil. Apabila seorang laki-laki telah mencampurinya, maka ia wajib membayar mahar untuknya. Dan bila mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi mereka yang tidak mempunyai wali.”[3]
                Praktek ini berlaku dikalangan sahabat Nabi SAW dan para Tabi’in. Mereka mengatakan bahwa perkawinan tanpa saksi tidak sah. Pendapat ini tidak ada menantang kecuali dari kalangan syiah dan Daud bin Ali Al Ash fihani Imam-imam Zhahiriyah. Mereka mengatkan bahwa perkawinan sah tanpa saksi . mereka beralasan bahwa riwayat-riwayat menganai saksi untuk perkawinan itu tidak ada, dan riwayat yang ada dianggap tidak sahih, tidak dapat dijadikan Hujjah. Dari Ayat Al-Qur’an dan Hadist-Hadist, saksi di isyaratkan dalam akad nikah karena fungsinya yang penting untuk pencegahan tuduhan zina terhadap hubungan suami istri, mencapai makna terbuka dan pengumuman, dan juga sebagai penentu sah atau tidaknya akad Nikah.
3.      Syarat Bagi Saksi Nikah

a.      Saksi itu berjumlah paling kurang dua orang.
Bila hanya ada satu orang, maka tidak mencukupi syarat kesaksian pernikahan yang syah. Sebab demikianlah teks hadits menyebutkan bahwa harus ada 2 orang saksi yang adil. Namun itu hanyalah syarat minimal. Sebaiknya yang menjadi saksi lebih banyak, sebab nilai ‘adalah dimasa sekarang ini sudah sangat kecil dan berkurang.
b.      Kedua saksi harus beragama islam.
Kedua orang saksi itu haruslah beragama islam, bila salah satunya kafir atau dua-duanya, maka akad itu tidak sah.


c.       Berakal
Maka seorang yang kurang waras atau idiot atau gila tidak syah bila menjadi saksi sebuah pernikahan.
d.      Baligh.
Maka seorang anak kecil yang belum pernah bermimpi atau belum baligh, tidak sah bila menjadi saksi.
e.       Merdeka
Abu Hanifah dan Syafii menyaratkan orang yang menjadi saksi harus orang-orang yang merdeka, tetapi ahmad juga mengharuskan syarat ini. Dia berpendapat bahwa aqad nikah yang disaksikan oleh dua orang budak, hukumnya sah sebagimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, karena dalam alquran maupun hadits tidak ada keterangan yang menolak seorang budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak boleh ditolak.
f.       Laki-laki.
Maka kesaksian wanita dalam pernikahan tidak sah. Bahkan meski dengan dua wanita untuk penguat, khusus dalam persaksian pernikahan, kedudukan laki-laki dalam sebuah persaksian tidak bisa digantikan dengan dua wanita. Golongan Syafi’i dan hambali menyaratkan saksi haruslah laki-laki. aqad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah
g.      Adil
Kedua saksi itu bersifat adil dalam arti tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak selalu melakukan dosa kecil dan tetap menjaga marwah.Ulama Hanafi tidak mensyaratkan adil pada saksi perkawinan. (Ibnu Al-Humam :197).
h.      Kedua saksi dapat melihat dan mendengar.
Kedua saksi tersebut tidak buta dan tidak tuli karena dapat menggangu keabsahan sebagai seorang saksi.

4.      Perbandingan Saksi Nikah dengan Saksi Lainnya
Pada dasarnya semua orang dapat menjadi saksi. Adapun yang tidak diperbolehkan menjadi saksi persidangan adalah :
  1. Suami atau istri
  2. Orang yang sakit jiwa
  3. Anak-anak kurang dari 15 tahun Namun dalam anggota keluarga sedarah/semenda boleh menjadi saksi dalam sengketa mengenai status perdata (perkara cerai/perjajnjian kerja) berhak menjadi saksi.

Syarat Formil Saksi:
  1. Namanya sudah ada didalam surat pelimpahan perkara (Pasal 160 ayat (1) huruf (c) KUHAP);
  2. Diminta oleh terdakwa, penasehat hukum, atau penuntut umum (Pasal 160 ayat (1) huruf (c) KUHAP);
  3. Dihadapkan oleh hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasehat hukum (Pasal 165 ayat (4) KUHAP);
  4. Harus dipanggil secara resmi melalui surat yang sudah diterima 3 hari sebelum siding pengadilan (Pasal 146 ayat (2) KUHAP).

Syarat Materiil Saksi:
  1. Tidak berhubungan keluarga sedarah, atau semenda garis lurus keatas atau kebawah sampai derajat ke tiga (Pasal 168 huruf (a) KUHAP);
  2. Tidak berhubungan saudara baik dari pihak ayah maupun ibu sampai derajat ke tiga (Pasal 168 huruf (b) KUHAP);
  3. Tidak mempunyai hubungan suami isteri meskipun sudah bercerai (Pasal 168 huruf (c) KUHAP);
  4. Dewasa, berumur lebih dari 15 tahun (Pasal 171 huruf (a) KUHAP);
  5. Tidak sakit ingatan atau sakit jiwa (Pasal 171 huruf (b) KUHAP);
  6. Bukan terpidana mati (menurut common law).[4]

5.      Saksi nikah tanpa perempuan
Madzhab Syafi’i dan Hambali membolehkan wanita menjadi saksi dalam berbagai macam persoalan, kecuali saksi nikah. Hal ini berlandaskan dari Hadis yang diriwayatkan Abu Abid: “Bahwa wanita tidak layak sebagai saksi dalam batas-batas tertentu yaitu saksi dalam perkawinan dan saksi dalam thalak”
Perempuan tidak boleh menjadi saksi nikah, karena akad nikah bukanlah akad yang berkaitan dengan harta benda, dan bukan akad jual beli. Dengan demikian, saksi laki-laki lebih baik dari pada perempuan.
Madzhab Hanafi mengatakan bahwa wanita boleh menjadi saksi nikah, dengan catatan didampingi dengan dua laki-laki dan dua orang perempuan. Hal ini dilandasi dari firman Allah Swt yang berbunyi:

وَاسْتَشْهِدُواْ شَهِيدَيْنِ من رِّجَالِكُمْ فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء
Artinya: “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (QS. Al-Baqarah: 282)
Madzhab Syafi’i mengatakan bahwa laki-laki adalah salah satu syarat dari syarat saksi. Menurut mereka, akad nikah belum dikatakan sah, jika saksi tersebut kurang dari dua orang laki-laki.
6.      Perkawinan Tanpa Saksi
Nikah tanpa saksi masih terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Perbedaan tersebut terletak pada sudut pandang masing-masing ulama yang memperselisihkan apakah saksi sebagai syarat sah akad nikah atau syarat penyempurnaan saja ketika bersetubuh (dukhul). Selain itu dasar hukum yang digunakan masing-masing ulama juga berbeda-beda.
Jumhur ulama berpendapat saksi sebagai syarat sah akad nikah, artinya akad nikah harus dihadiri oleh para saksi, apabila tidak, maka pernikahannya tidak sah. Inilah pendapat Hanafiah, Syafi’iyah dan Hanabilah.
Menurut Ulama Malikiyyah, saksi merupakan syarat sempurnanya pernikahan, bukan syarat sah pernikahan, maka akad nikah menurut mereka sah tanpa saksi, tetapi tidak sempurna kecuali dengan saksi. Mereka mengatakan bahwa saksi hukumnya sunnah ketika akad nikah karena untuk meredam perselisihan. Pendapat ini juga dipilih oleh Abdullah ibn Umar, Urwah ibn Zubair, Abdullah ibn Zubair, Hasan ibn Ali dan dari kelompok Ahli hadits (muhadditsin) seperti Abdurrahman ibn Mahdi dan Yazid bin Harun.[5]
 Mereka beralasan bahwa jual beli yang di dalamnya disebutkan soal mempersaksikan ketika berlangsungnya jual beli sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an bukan merupakan bagian dari syarat-syarat yang wajib dipenuhi. Allah tidak menyebutkan di dalam Al-Qur’an tentang adanya syarat mempersaksikan dalam suatu pernikahan. Karena itu, tentu lebih baik jika masalah mempersaksikan tidak termasuk salah satu syaratnya, tetapi cukuplah diberitahukan dan disiarkan saja guna memperjelas keturunan.
Mempersaksikan ini boleh dilakukan setelah ijab kabul untuk menghindari perselisihan antara kedua mempelai. Jika waktu ijab kabul tidak dihadiri oleh para saksi tetapi sebelum mereka bercampur kemudian mempersaksikan maka pernikahannya tidak batal, tetapi kalau sudah bercampur belum dipersaksikan maka nikahnya batal.[6]
Kalangan ulama Syi’ah seperti Abdurrahman bin Mahdi, Zaid bin Harun dan Ibnu Zubair berpendapat bahwa saksi bukan merupakan syarat sah suatu pernikahan. Begitu juga Abdullah bin Idris, Ubaidullah bin Hasan dan Abu Tsaur berpendapat sama. Karena menurut mereka hadist-hadist tentang saksi itu tidak ada yang kuat atau shahih hal serupa juga dikemukakan oleh Madzhab Ja’fariyah dan Dhahiriyah.
Ada juga pendapat ulama yang berpendapat nikah tanpa saksi boleh kemudian diumumkan. Pendapat ini dianut oleh Al-Zuhri, Imam Malik dan penduduk Madinah.
Perselisihan mereka terletak pada apakah memberitahukan akad atau menyaksikan akad nikah merupakan syarat sah akad nikah atau tidak. Mengenai masalah ini terdapat dua kelompok yang berselisih pendapat.
Pertama, memandang bahwa menyaksikan (saksi) merupakan syarat sah akad nikah. Demikian menurut Jumhur Sahabat dan Jumhur ulama.
Kedua, memandang bahwa saksi dalam akad nikah tidak menjadi syarat sah akad nikah. Demikian menurut Abu Tsaur, Imam Ahmad menurut satu riwayat, Adzzahiriyah, Imamiyah, Ibnu Abi Laila, Usman Al-Batty, (dari kalangan Hanafi); dari kalangan Sahabat: Ibnu Umar, Hasan ibn Ali dan Ibnu Zubair; dan dari kalangan Tabi’in: Salim dan Zuhri.


Dalil-dalil yang dipegang oleh golongan kedua tersebut adalah firman Allah.
Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi.” (QS. An Nisa:3)
 “Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian.” (QS An Nur:32)[7]
Dari beberapa pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa saksi dalam akad nikah masih diperselisihkan. Ada yang berpendapat saksi itu wajib dalam akad nikah, ada juga yang berpendapat saksi itu tidak wajib dalam akad nikah.


[1] http://catatanilmupengetahuanku.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html
[2] https://saveandsound.wordpress.com/2012/02/14/perwalian-dalam-pernikahan-dan-persaksian-dalam-akad-nikah/
[3] http://catatanilmupengetahuanku.blogspot.co.id/2013/05/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html

[4] http://yogicahyabagus.blogspot.co.id/2013/01/saksi-persidangan-dan-syaratnya.html
[5] Imam ‘Alauddin Abi Bakar ibn Mas’ud al Kasani, Badaaiu’ Al Shonaai’i, Juz III, Beirut Libanon: Darul Kutub al-Ilmiah, t.t. hlm. 391-392
[6] Slamet Abidin dan Aminuddin, Fiqh Munakahat, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999, hlm. 100
[7] Depag RI,Al-Quran Dan Terjemahannya,hlm.115

WALI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)


WALI DALAM PERNIKAHAN


A.    Definisi Umum Wali dan Pengertian Wali Nikah
Perwalian dalam arti umum yaitu “ Segala sesuatu yang berhubungan dengan wali”.
   Dan yang disebut dengan wali mempunyai banyak arti, antara lain :
1.    Orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya, sebelum anak itu dewasa.
2.      Pengasuh pengantin perempuan pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin laki-laki)
3.      Orang saleh (suci), penyebar agama
4.      Kepala pemerintah dsb. [1]
            Sedangkan yang dimaksud dengan Wali dalam pernikahan adalah orang yang berhak atau berwenang menikahkan seorang perempuan yang diurusnya apabila ia (wali)
sebagai wali maka hak kewaliannya berpindah kepada orang lain. Wali nikah juga bisa disebut pihak pertama dalam aqad nikah, karena yang mempunyai wewenang menikahkan mempelai perempuan atau yang melakukan ijab. Sedangkan mempelai laki-laki menjadi pihak kedua atau yang melakukan qabul. Wali merupakan syarat sah dalam pernikahan gadis, tanpa wali pernikahan tidak sah, [2]
B.     Landasan Hukum Wali nikah
Berdasakan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat An-Nuur ayat 32:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan.”
Juga berdasarkan sabda rasulullah SAW:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali.(HR. Turmudzi)”
Juga dalam lafazh lain:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لاَ وَلِيَّ لَهُ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali, dan penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.(HR. Turmudzi)”
Dan dalam lafazh lain lagi:
لاَ نِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ.
“Tidak sah nikah kecuali dengan keberadaan wali dan dua saksi yang adil.(HR. Abdurrazaq)”
Mengenai perwalian ini terdapat juga dalam kompilasi hukum islam (KHI) di Indonesia memperinci sebagai berikut :
Dalam buku I Hukum Pernikahan, Pasal 19,20,21,22 dan 23 berkenaan dengan Wali nikah, disebutkan :
a.       Pasal 19 à Wali nikah dalam pernikahan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahkannya
b.      Pasal 20 à
(1). Yang bertindak sebagai Wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil, dan baligh
(2). Walli nikah terdiri dari : a. Wali nasab, b.Wali hakim

c.       Pasal 21
(1)    Wali nasab tediri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai.
(2)    Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
(3)    Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat ayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.
d.      Pasal 22 à Apabila wali nikah yang paling berhak urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu mendereita tunawicara, tunarungu, atau sudah uzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.
e.       Pasal 23 à
(1)    Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adhol atau enggan.
(2)    Dalam hal wali adhal atau enggan, maka wali hakim nikah setelah ada putusan Pengadilan Agama tentang wali tersebut. [3]

C.     Kewenangan Wali Nikah (wali mujbir)
Wali mujbir adalah wali yang mempunyai wewenang langsung untuk menikahkan orang berada dibawah perwaliannya meskipun tanpa mendapatkan izin dari orang itu. Wali mujbir hanya terdiri dari ayah dan kakek (bapak dan seterusnya ke atas) yang dipandang paling besar rasa kasih sayangnya kepada perempuan di bawah perwaliannya. Selain mereka tidak berhak ijbar
Adapun orang yang boleh dipaksa menikah oleh wali mujbir adalah sebagai berikut:
1.      Orang yang kehilangan kecakapan bertindak hukum,seperti anak kecil dan orang gila. Jumhur ulama kecuali Imam Syafi’i, menyatakan sepakat bahwa anak kecil yang belum akil balig, baik ia laki-laki ataupun perempuan, janda atau perawan, dan orang gila boleh dipaksa menikah.
2.      Wanita yang masih perawan tetapi telah balig dan berakal.
3.      Wanita yang telah kehilangan keperawanannya, baik karena sakit, dipukul, terjatuh ataupun disebabkan karena berzina.
Wali mujbir ini adalah mereka yang mempunyai garis keturunan ke atas dengan perempuan yang akan menikah. Mereka yang termasuk dalam wali mujbir ialah sah dan seterusnya ke atas menurut garis patrilineal. Wali mujbir dapat mengawinkan anak gadisnya tanpa persetujuan putrinya jika penting untuk kebaikan putrinya.
Bagi orang yang kehilangan kemampuannya, seperti orang gila, anak-anak yang belum mencapai umur tamyiz boleh dilakukan wali mujbir atas dirinya, sebagaimana dengan orang-orang yang kurang kemampuannya, seperti anak-anak dan orang yang akalnya belum sempurna, tetapi belum tamyiz (abnormal).
D.    Antara Janda (Tsaib) dan Perawan (Bikr)
            Mengenai perbedaan hukum antara wanita  Janda (tsayyib) dan wanita perawan terdapat hadits :
“ Tidak ada urusan wali mengenai wanita janda.”
Adapun dalil dengan hadits : “ Wanita tsayyib (janda) lebih berhak mengenai dirinya daripada walinya.” Jadi dari kedua hadist diatas mengatakan dengan tegas mengenai seluruh urusan wanita janda terserah kepadanya sendiri, dan diantaranya ialah aqad nikah. Dan kedua hadits itu juga jelas menunjukan perintah minta izin wanita perawan. Maka dengan demikian, si perawan tidak ada haknya kecuali memberi izin mengenai nikahnya, dan hal itu menunjukan bahwa yang menguasai nikah adalah orang lain dari pada dia, yaitu walinya yang meminta izin kepadanya. [5]

E.     Kelompok Orang yang Berhak Menjadi Wali Nikah
            Di bawah ini dikemukakan tingakatan wali nikah untuk wanita dari yang terkuat hak kewaliannya sampai yang terendah. yaitu :
1.      Ayah
2.      Kakek dari pihak ayah terus keatas, atau orang yang mendapat kepercayaan ayah
3.      Saudara laki-laki sekandung
4.      Saudara laki-laki seayah
5.      Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
6.      Anak laki-laki saudara laki-laki seayah
7.      Paman sekandung
8.      Paman seayah
9.      Anak laki-laki dari paman sekandung
10.  Anak laki-laki dari paman seayah
11.  Hakim. [6]
F.      Anak Menjadi Wali Nikah Ibunya
            Anak tidak boleh dijadikan sebagi Wali nikah Karena statusnya sebagai anak.
Diantara dasar ulama syafi’iyah tidak membolehkan anak menjadi Wali karena hubungan anak dan ibunya bukanlah dari hasil nasab (namun dari pernikahan dengan bapak dari anak itu sehingga barulah ada anak). Sama halnya dengan saudara laki-laki seibu tidaklah boleh menikahkan saudara perempuannya seibu karena tidak ada nasab dari jalur bapak. [7]

G.    Wali Nikah Mafqud, Mujbir dan Adhal
Ø  Wali Mafqud ( tidak ketahuan rimbahnya)
            Wali Mafqud adalah wali yang hilang atau tidak diketahui keberadaanya mungkin
karena pergi merantau atau kemana dan tidak pernah ketahuan alamat pastinya. Dalam hal ini bapak penghulu juga berhak menikahkan sebagai wali hakim dengan permohonan dari pihak pengantin perempuan.
Ø  Wali Adhol ( enggan menikahkan)
Wali Adhol atau enggan menikahkan adalah wali yang memang tidak menyetujui pernikahan puterinya yang akan berlangsung. Wali bersikap demikian karena dilatar belakangi faktor:
a.       Puterinya sudah di jodohkan dengan orang lain yang pilihan orang tuanya
b.      Orang tuanya beranggapan tidak sekufu (sederajat) baik secara ekonomi, strata social. Dll.
Ø  Wali Mujbir, sebagaimana dijelaskan diatas yang dimaksud wali mujbir adalah orang yang mempunyai hak paksa atau hak ijbar. Dasar pertimbangan wali mujbir adalah kemaslahatan putrinya yang akan dipaksa. Artinya bahwa seorang Wali mujbir harus yakin bahwa jodoh yang dia paksakan itu tidak akan menimbulkan masalah bagi putrinya bahkan akan mendatangkan maslahat bagi putrinya.
Hak ijbar dari Wali mujbir itu bisa gugur karena mempunyai alasan yaitu:
1.      Tidak ada kesepadanan antara mempelai laki-laki dengan gadis yang dipaksakan perkawinannya.
2.      Adanya pertentangan antara kedua orang yang akan dipaksakan atau adanya perselisihan antara calon mempelai
3.      Adanya perselisihan antar mempelai perempuan dengan wali mujbir yang dinikahkan.[8]

H.    Syarat Mursyid bagi Wali Nikah
v  Seseorang wali harus memenuhi syarat-syarat sabagai berikut:
1.      Islam
      Disaratkan wali itu seorang muslim apabila yang dikawinkan itu seorang muslim pula, maka tidak boleh seorang muslimah dinikahkan dengan seorang kafir.
Firman Allah SWT dalam QS. Ali-imran: 28 yang Artinya : “ janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah SWT, kecuali karena (siasat) memelihara dari sesuatu yang diikuti. Kepada Allah kembalimu.
2.      Baligh dan Berakal
      Baligh dan berakal merupakan persyaratan bagi wali, maka tercegahlah bagi wali yang anak-anak dan orang gila, karena anak-anak dan orang gila itu masih dibawah kewalian orang lain.
3.      Merdeka
      Disyaratkan wali itu merdeka, maka tidak boleh hamba menjadi wali, karena hamba itu tidak layak bagi dirinya, bagaimana ia dapat menjadi wali bagi orang lain.
4.      Laki-laki
       Disyaratkan wali itu laki-laki, maka perempuan tidak sah menjadi wali. Sabda Rasullah SAW : (H.R Ibn Majah dan Daruquntni)
“ dari Abu Hurairah R.a ia berkata : Rasulullah SAW bersabda: wanita tidak dapat menikahkan wanita dan ia tidak dapat mengawinkan dirinya sendiri, maka sesungguhnya wanita penzinahlah yang mengawinkan dirinya.”
5.      Adil (Mursyid)
      Menurut Imam Syafi’I wali itu harus seorang yang adil, maka tidak sah apabila wali itu tidak adil, haram memandang beberapa faktor yang menyebabkan hilangnya wibawa seorang wali dalam perkawinan apabila ia tidak sanggup berlaku adil.
Mursyid dalam hadits dianggap sebagai persyaratan yang utama bagi seorang wali, karena orang tidak dapat berlaku adil dikhawatirkan perwaliannya akan membawa kepada hal-hal yang tidak baik atau membawa akibat sampingan yang mengurangi nilai perkawinan tersebut.
      Dalam Matan Taqrib Abu Syujak menjelaskan syarat menjadi saksi nikah dan syarat Adil :
“ Artinya : Kesaksian dalam pernikahan tidak diterima kecuali dari orang yang memenuhi lima hal yaitu : islam, baligh, berakal sehat, merdeka, adil, Adil harus memenuhi lima syarat yaitu menjauhi dosa besar, tidak menatapi dosa kecil, menjaga perilaku buruk, stabil emosinya saat marah, menjaga kerabat.[9]
I.       Macam-macam Wali
v  Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 20 ayat(2) Wali nikah terbagi menjadi dua macam, antara lain:
1.      Wali Nasab yaitu wali dari pihak kerabat.
2.      Wali Hakim yaitu pejabat yang diberi hak oleh penguasa untuk menjadi wali nikah dalam keadaan tertentu dengan sebab tertentu pula.[10]

Ø  Wali Nikah ada beberapa macam, yaitu :
(1).  Wali Nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan perempuan yang akan melangsungkan pernikahan. Al Mughni berpendapat bahwa kakek lebih utama dari pada saudara laki-laki dan anaknya sudara lelaki Karena kakek adalah asal. Kemudian, paman-paman dari pihak ayah berdasarkan urutan-urutan saudara-saudara laki-laki sampai ke bawah, kemudian bekas tuan (Almanla) dan penguasa.
     Wali nasab dibagi menjadi dua, yaitu Wali Aqrab (dekat) dan Wali Ab’ad (jauh). Dalam urutan diatas, yang termasuk Wali Aqrab adalah wali ayah, sedangkan Wali Ab’ad adalah kakak atau adik ayah.
·         Adapun perpindahan Wali Aqrab kepada Wali Ab’ad adalah sebagai berikut :
1.      Apabila wali aqrab-nya nonmuslim
2.      Apabila wali aqrab-nya fasik
3.      Apabila wali aqrab-nya belum dewasa
4.      Apabila wali aqrab-nya gila
5.      Apabila wali aqrab-nya bisu / tuli


(2)    Wali Hakim, adalah wali nikah yang diambil dari hakim (Pejabat pengadilan atau aparan KUA atau PPN)
(3)    Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon suami / calon istri.
Wali Tahkim terjadi apabila :
·         Wali nasab tidak ada
·         Wali nasab gaib, atau berpergian sejauh dua hari agar perjalan, serta tidak ada wakilnya.
·         Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
(4)    Wali Maula, yaitu wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya budak tersebut. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwaliannya, terutama adalah hamba sahaya yang berada dibawah kekuasaannya, bilamana perempuan itu rela menerimanya.
Dalam Q.s An-Nur ayat 32 di jelaskan :
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.

(5)    Wali Mujbir dan Wali Adol. [11]

J.       Wali Pengganti/ Wali Hakim
            Para ulama sependapat bahwa wali yang tidak berhak merintangi perempun yang diwalikannya, dan berbuat dzalim kepadanya kalau ia mencegah kelangsungan pernikahan tersebut, jika ia mau dikawinkan dengan laki-laki yang sepadan dan mahal mitsl. Jika wali menghalangi pernikahan tersebut, maka calon pengantin wanita berhak mengadukan perkaranya melalui pengadilan agar perkawinan tersebut dapat dilangsungkan. Dalam keadaan seperti ini perwalian tidak berpindah ke wali yang lain melainkan langsung kepada hakim. Sebab mengahalangi hal tersebut adalah suatu perbuatan yang dzalim, sedangkan untuk mengadukan wali dzalim itu hanya kepada wali hakim.[12]
            Jadi wali hakim telah dijelaskan jika wali terdekat tidak ada tetapi tidak memenuhi syarat maka hak menikahkan berpindah kepada wali hakim dalam tingkat berikutnya. Seperti diatas jika wali itu tidak mau menikahkan atau ada perempuan yang tidak mempunyai wali, maka akad nikah dilakukan oleh wali hakim.
Ø  Orang-orang yang berhak menjadi Wali Hakim :
1.      Kepala pemerintah.
2.      Khalifah (pemimpin), penguasa pemerintahan atau qadi bikah yang diberi wewenang dari kepala Negara untuk menikahkan perempuan yang berwali Hakim.
Ø  Wali Hakim diperlukan dalam keadaan sebagai berikut :
1.   Tidak ada wali nasab
2.      Tidak cukup syarat-syarat pada wali aqrab atau wali ab’ad
3.      Wali aqrab gaib atau pergi dalan perjalanan sejauh kurang lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4.      Wali aqrab Sedang di penjara atau ada tugas (tidak bisa ditemui)
5.      Wali aqrab A’dol
6.      Wali aqrab berbelit-belit (mempersulit)
7.      Wali aqrab sedang ihram haji atau umroh
8.      Hilang tak tentu rimbahnya
9.      Wali aqrab sendiri yang akan menikah
10.  Perempuan yang akan dinikahi gila , tetapi sudah dewasa, sedangkan wali mujbir tidak ada.[13]

Ø  Wewenang perwalian berpindah kepada hakim, apabila :
1.   Ada pertentangan antar wali-wali
2.   Jika tidak ada wali, dalam arti tidak ada yang absolut (mati, hilang) atau karena gila.
Ø  Wali Hakim tidak berhak menikahkan :
1.      Perempuan yang belum baligh
2.      Kedua belah pihak (calon perempuan dan laki-laki) tidak sekufu
3.      Tanpa seizin perempuan yang akan dinikahi
4.      Di luar daerah kekuasaannya
K.    Perkawinan Tanpa Wali Di Luar Marhalah Qashr
Seandainya wali yang terdekat baik wali nasab maupun wali waris wala' sejauh dua marhalah (82 km dihitung dari batas kota ke batas kota lain) dan tidak ada wakilnya yang hadir didalam kota atau kurang dari perjalanan yang memperbolehkan qasr (82 km) maka Hakim yang menikahkan. Yang dimaksud hakim di sini hakim atau penggantinya dalam wilayah kerjanya bukan hakim yang diluar wilayah kerjanya juga bukan wali yang jauh
Ada sebagian pendapat wali yang lebih jauh secara nasab  berhak menikahkan seperti bila wali dekatnya dalam keadaan gila.
Dan apabila kurang dari masafah Qasr/82 km  Hakim tidak dapat menikahkan kecuali dengan izin wali menurut pendapat yang kuat, karena jarak tempuh yang dekat, maka perwalian harus dikembalikan kepada wali tersebut, kemudian wali menghadirinya atau mewakilkan
L.     Perkawinan Tanpa Wali Nikah Sama Sekali
Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali. Berdasarkan beberapa hadits yang telah dipaparkan diatas
Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa ( janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah. Hal ini dikarenakan mereka beranggapan dalam riwayat hadits diatas terdapat seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif
M.   Sifat-sifat Wali
            Fuqaha telah sepakat bahwa sifat-sifat seorang wali adalah islam, dewasa, dan laki-laki. Akan tetapi, berbeda pendapat dalam hal wali dari hamba sahaya, orang fasik, dan orang bodoh.
            Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan merupakan syarat dalam perwalian untuk menikahkan bersama ketiadaannya pada perwalian dalam urusan harta benda, mereka mengatakan bahwa seorang wali tidak disyaratkan harus cerdik pula dalam urusan harta benda. Adapun bagi fuqaha yang berpendapat bahwa kecerdikan itu tidak diisyaratkan dalam perwalian, mereka mengharuskan adanya kecerdikan dalam masalah harta benda. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat dua bagian, yaitu bahwa kecerdikan dalam urusan harta berlainan dengan kecerdikan dalam memilih calon suami yang patut untuk dinikahi. [16]



[1] Prof.Dr.Abdul Rahman Ghozali, M.A ,Fiqih Munakahat (Kencana, Prenada Media Group, Jakarta 13220)
[2]
[3] Kompilasi Hukum Islam
[4]
[5]
[6] Fiqih sunnah 6, Sayyid saabiq.
[7] Khifayatul Akhyar, Abu Bakr Muhammad bin Abdul Mu’min Al-husaaini Ad Dimasyqi, Asy Syafi’i, terbitan Darul Minhaj, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[8] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)

[9] Qamaruddin Saleh, Asbabun Nuzul (Bandung,Diponegoro,1984)
[10] Kompilasi Hukum Islam Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Haji, Departemen Agama RI, 2002
[11] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)
[13] Fiqih sunnah 6, Sayyid saabiq

[16] Mustofa Hasan, M.Ag, Prof.Dr.H.Boedi Abdullah, M.Ag , Pengatar Hukum Keluarga (cetakan I,Bandung, jln BKR (lingkar Selatan) No.162-164, tahun 2011)


SAKSI DALAM PERNIKAHAN (Fiqh Munakahat)

SAKSI DALAM PERNIKAHAN Islam adalah agama dan jalan hidup bagi semesta alam yang berdasarkan kepada firman Allah yang termaktub dalam al...